Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan salah seorang yang saya anggap sukses untuk ukuran aktivis, baik dari suluk maupun pengalaman organisasi, segudang koneksi tampaknya ada di tangannya, bahkan bisa jadi peranan dia cukup signifikan dalam organisasi yang ia geluti. Penilaian saya ia cukup sempurna untuk ukuran pemuda seusianya. Suatu saat dia bercerita akan masa lalunya yang cukup sukses yang kini idealisme yang dulu ia junjung tinggi tidak lagi menemukan tempatnya. Bagi saya mungkin dia adalah ikan hiu yang berada dalam kumpulan ikan mujair, kurang lebih begitu. Singkat cerita ia membutuhkan wahana untuk beraktualisasi diri.
Salah satu konsekwensi logis dari dunia pergerakan adalah totalitas untuk bergerak, apa yang di sampaikan Ust Hassan Al Banna ada benarnya, kewajibannya al Akh lebih banyak dari waktu yang tersedia. Konsekwensinya seorang akh harus menata waktunya seefesien mungkin untuk menuntaskan kewajiban da’winya, akademiknya, kesehariannya sekaligus menata karirnya. Kurang lebih itu idealnya. Kebalikan dari itu, tugas da’winya tuntas, namun kewajiban akademik dan perencanaan untuk memulai karir tampaknya terabaikan. Akibatnya, kompetensinya dipertanyakan.
Pertemuan saya dengan teman-teman saya, tampaknya cukup menohok otak saya untuk merenungi perjalanan saya dalam dunia pergerakan yang kemudian mendorong kesimpulan yang mungkin berbeda dari kesimpulan awal di saat pergerakan ini menyapa saya. saya bertemu dengan orang yang, mohon maaf, terlihat lebih tua dari seusianya, tatapannya tidak memperlihatkan tatapan yang layu, tampaknya obsesi-obsesi besarnya banyak terrenggut oleh tuntutan hidup yang kian hari kian berat. Di sisi lain, saya menangkap mereka mulai pragmatis dalam menapaki langkahnya ke depan. Sekali lagi saya berbicara untuk urusan duniawi, sebab untuk aspek ruhiyah, saya merasa no thing dibanding mereka. Beberapa dari mereka harus bergulat untuk menghidupi urusannya.
Beberapa teman saya harus merasa kesulitan untuk mendapatkan lahan kerja, sehingga mereka harus bekerja di bawah kekuatan sesungguhnya pada diri mereka atau bekerja tidak sesuai dengan kuliahnya. Hampir-hampir saya menyandarkan diri sepenuhnya pada opini bahwa jamaah akan sepenuhnya memenuhi masa depan saya. beberapa kali terdengar bahwa -jamaah dalam beberapa hal- tidak dapat memenuhi maisya setiap kader. Ungkapan ini cukup logis bagi saya.
Pernah beberapa kali pikiran nakal itu hinggap dalam pikiran saya, saya membandingkan teman-teman hebat saya dengan beberapa aktivis lain yang tidak “terlalu hebat” kapasitasnya. Ternyata teman saya yang tidak terlalu hebat ini mereka memiliki penghidupan yang cukup layak untuk aktivis semaqomnya. Hp mereka keren, pulsanya selalu terisi dan pada saat yang sama, kenalan mereka banyak dari pejabat. Bahkan beberapa dari mereka dapat dikuliahkan di luar negeri. Iri rasanya melihat kesuksesan mereka. Di saat saya ditawari untuk menjabat suatu organisasi saya pernah ditawari maisyah, tentu saya bergembira, namun dalam perjalanannya saya kemudian mengambil kesimpulan bahwa terlalu banyak berharap secara pasif kepada orang lain, cukup merugikan untuk manusia seperti saya.
Saya kemudian bandingkan pada diri saya, masyaallah betapa saya telah banyak merugikan mereka, mungkin karena kelalaian saya, tugas saya akhirnya mereka yang menghandle. Pikiranku saat ini kemudian menatap ke masa lalu, ada yang perlu saya syukuri, alhamdulillah, saya tidak pernah menyia-nyiakan kuliah saya, mungkin citra diri yang saya bangun sejak awal dan lingkungan KAMMI UIN yang cukup baik dalam belajar, serta kedekatan saya dengan banyak dosen saya membuat saya tidak memilih untuk minimalis dalam belajar. IPK 3,55 minus ujian kompre cukup bisa saya banggakan di depan Ortu.
Beberapa teman kuliah saya iri dengan saya, IPK tinggi, karir organisasi juga mentereng, hubungan interpersonal dengan teman saya cukup terpelihara baik, bagitu pula dengan dosen, mereka mesti kenal saya kecuali dosen baru, atau dosen yang tidak luarbiasa. Namun dibalik ungkapan iri mereka justru saya mulai meninjau kembali pencapaian saya, benarkah citra diri yang terbangun dalam benak teman-teman saya itu benar adanya, atau disparatisnya cukup lebar untuk dijembatani. Saya berharap sekali doa Abu Bakar itu mujarab untuk diri saya “Ya Allah jadikanlah diri ini lebih baik dari yang mereka kira”.
Hemm, tarikan nafas ini begitu berat, seolah ribuan tatapan diri saya sendiri menelanjangi saya, tanpa ada yang bisa saya tutupi. Yaah pengadilan maha adil itu pun akan memperlakukan diri saya sejujur-jujurnya, saya pun tak kuasa untuk tidak sepenuhnya mengakui diri saya apa adanya. Benarkah-benarkah……. kualitas diri ini sebaik citranya. Saya hanya berharap besar kata iyam menjadi jawaban jujur. Oleh sebab itu jawaban itu hanya dapat dibuktikan kebenarannya dengan pembuktian. Pembuktian itu harus mencerminkan kompetensi individual yang jujur saya miliki, tanpa ketergantungan dari orang lain.
Kemarin saya sempat diberi masukan oleh Pak Muluk, beliau mengatakan “kita harus mulai menyeimbangkan antara kapasitas personal dengan amanah publik, antum bisa melihat beberapa pejabat mahasiswa setelah mereka wisuda kemudian mereka menganggur dan tidak jadi apa-apa, karena mereka muncul dengan seabrek jabatan karena berdasarkan ta’limat.
Waduh, jangan sampai terlalu dalam mengenai saya, maksud saya pembuktian kompetensi berbanding lurus dengan pencapaian amanah perlu diuji publik, saat ini saya mencoba untuk masuk dalam dunia yang saya geluti selama di bangku kuliah, saya memilih jadi konselor, gajinya memang kecil tapi UMR kalau dihitung keseluruhan, tawaran untuk menjadi staf ahli DPR sudah mendapat rekomendasi, namun itu saya tolak, dan hal itu pula yang disayangkan oleh beberapa saudara saya yang tahu. Tentu ini pula menjadi uji publik akan kompetensi pribadi saya, namun saya memilih jadi konselor bukan karena saya menjadi KT6, namun pengujian sekuat apa nafas saya untuk mengimplementasikan ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah, itu yang menjadi obsesi saya, meski dorongan untuk melanjutkan kuliah tetap kuat, namun perkiraan saya itu baru terrealisasi 2 tahun kemudian, semoga saja motivasi saya tetap terjaga.
Selain itu, pilihan ingin rasanya saya berinteraksi dengan masyarakat riil, membantu mereka mencari akses, mengadvokasi mereka dengan kemampuan yang saya miliki, orientasi politisi saya adalah politisi eceran bukan borongan, sehingga kompetensi politik saya lebih lengkap, selain pernah menjadi aktivis mahasiswa juga terjun langsung dalam persoalan rakyat kecil, sehingga kalau suatu saya kompetensi politik saya diperlukan, maka jaminannya adalah kualitas.
Ada pergulatan pikiran yang cukup menyita waktu saya untuk merenung, interaksi saya dengan dunia idealisme sekaligus kenyataan yang menimpa teman-teman saya, diri saya juga, maka kemudian kesimpulan yang saya ambil mengarah kepada kesan individualisme; yang menentukan arah hidup saya adalah saya sendiri, yang selama ini banyak didorong oleh ajakan-ajakan lain yang justru tidak searah dengan pencapaian prestasi hidup baik dari segi sosial, politik ataupun ekonomi saya, dan kenyataanya adalah demikian. Sehingga jika pergolakan rencana saya dulu banyak berkisar pada pelaksanaan perintah, saat ini saya justru lebih berorientasi pada kerja apa yang tidak dilarang. Persoalan ananiyah terletak pada aspek kontribusi. Bagi saya, di sini justru letaknya, di manapun saya berada saya tetap akan berkontribus beramal da’wah semampu saya.
Gembira rasa teman-teman seperjuangan saya mulai memutar arah jalan mereka, di saat mereka sadar bahwa kompetensi pribadi menjadi dasar yang penting baik buat diri sendir ataupun untuk dien, beberapa dari mereka sering mengungkapkan bahwa “saya tidak malu untuk kuliah lagi”, ada buliran hangat dalam dada saya mendengar ungkapan sadarnya, ya akhi berjuang terus, kita sama-sama berprestasi. Ada juga yang pindah kampus dengan mengambil jalur ekstensi, tentu saya meraka bangga dengan kekuatan mereka untuk memutar arah. Tidak ada keterlambatan dalam perjuangan ini, bagi saya cukup senang sudah dengan orientasi gerak baru mereka.
Ads 970x90
Sabtu, 19 Januari 2008
MENDIRI
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon