Lelaki obesesif, gambaran akurat tentang citra diri sendiri di saat saya sadar betapa citra diri berkontribusi besar dalam karakter, pola pikir dan cita-cita. Sejak awal dosen-dosen saya sering mengatakan “you are what you think”. Ungkapan itu mengendap dalam pikiran saya, namun seiring dengan berjalannya zaman, ungkapan itu telah masuk dalam pikiran saya terlalu dalam. Sampai terlupakan. Kemarin lelaki lajang tetangga kampung saya di Malang memberi pinjam saya buku psycho cybernetics mutakhir yang dikarang oleh Maxwell Maltz yang mengatakan bahwa citra diri adalah kunci menuju hidup tanpa batas. Makna tersirat adalah selama ini hidup kita dibatasi oleh citra diri yang dibangun dalam diri selama ini. Fosil ingatan citra diri saya kembali diputar dalam pikiran saya, ah…inikan materi kuliah dulu.
Di sisi lain, menurut Maxwell Maltz orang cenderung dipengaruhi oleh opini orang lain atau opini dirinya sendiri yang kemudian menjadi citra diri. Saya coba merefleksikan kronologis pengalaman saya selama di bangku kuliah, alhamdulillah saya cukup dekat dengan mereka, meski saya termasuk vokalis di kelas, namun keramahan saya, kerelaan saya untuk membantu dosen menghapus papan tulis, bawa OHP dan LCD bahkan sering juga diminta dosen untuk jadi moderator diskusi kelas membut mereka “mungkin” punya penilaian tersendiri buat saya. tampilan saya yang rapi, rambut belah tengah, berkaca mata minus bisa jadi mereka melihat saya sebagai orang cerdas (geer bos). ujur, memang sejak awal genderang perang itu sudah saya tabuh, nilai tertinggi placement test bahasa arab, pernah dapat IP 4, tapi yang IP 4 ini katanya sih dipertanyakan, peduli amat.
Sudah rada lama sih salah satu dosen (alhamdulillah sekarang beliau sudah dapat suami) bilang ”Rom, apa sih yang kamu gak bisa”; selain itu juga salah satu dosen saya juga bilang, “Rom saya yakin orang kayak kamu ngerti. Yaa ini sisi baiknya (angel side) atau sisi yang sulit begitu orang blitar bilang. Perubahan citra diri saya cukup ketara di kelas 3 MTs, saat itu, cara pandang saya terhadap Ust, sekolah banyak mengalami perubahan, mungkin terlalu banyak input yang buruk yang saya terima, grup pergaulan sudah terlihat unik dan mendalam, serta perencanaan masa depan mulai terbangun meski masih sederhana. Satu tahun kemudian, rasa keakuan itu muncul dalam diri saya, yang selama ini perasaan no thing itu ada, dan sampai sekarang saya pertahankan, namun rasa keakuan itu memunculkan perasaan nyaman dengan diri saya sendiri. Sehingga beberapa orang mungkin memandang saya terlalu idealis, terlalu PD seperti yang dibilang Teh Rina sebelum menikah, keras kepala, tapi kok perasaan gak separah itu.
Ungkapan Maltz ini bisa jadi ada benarnya, terutama menyangkut definisi kita tentang kesulitan. Sekolah menengah saya bukan sekolah yang banyak memikirkan pelajaran MIPA, bahkan IPS sekalipun. Jam pelajaran fisika saat itu hanya 4 jam kalau gak salah, kimia 2 jam. Sehingga belajar pun menjadi setengah-setengah. Pameo pada saat itu adalah ”kalau pelajaran pondok itu jelek, meski pelajaran umumnya bagus tetap aja gak bisa naik kelas. Bisa kebayang, betapa doktrin itu benar-benar merasuk dalam otak saya, sampai-sampai saya tidak begitu peduli untuk belajar ilmu umum, namun kuat dalam ilmu hapalan. Akibatnya, saya merasa tidak bisa optimal belajar eksak, memang citra yang terbangun begitu, pelajaran fisika, matematika, kimia dan akuntasi saya jeblok. Kebalikan dari itu, justru ketika saya belajar statistika di bangku kuliah, saya pernah dapat A. Nah loo...
Saat ini dihadapkan pada kenyataan, saya pun menyadari betapa kenyataan pragmatis itu begitu dekat dengan diri kita. Kenyataan itu menjadi pengertian yang baru sebagai sparting partner ide idealisme saya. Di awal perjumpaan saya dengan pergerakan ini, saya sudah membangun obsesi besar, cita-cita idealis. Bangunan persepsi yang ada pada saat itu berdasarkan penglihatan saya, betapa orang-orang yang berada dalam lingkup pergerakan ini adalah orang yang luar biasa brilian, berani dan kreatif. Sangat mengagumkan. Nyaman rasanya berdekatan dengan mereka. Perlahan namun pasti bangunan itu tetap idealis namun mulai diisi oleh gambar lain, gambaran itu berisi tentang problematika masyarakat yang mulai menyapa kita, seperti pengangguran, dan kemiskinan. Bangunan persepsi itu tidak menurun kualitasnya, namun ia telah mulai manusiawi.
Persepsi inilah yang kemudian memberi kontribusi yang signifikan dalam bangun citra diri yang saya bangun, di mana saya mulai realistis dalam menghadapi kenyataan yang ada, namun dalam kadar tertentu idealisme itu tetap dipertahankan seperti untuk pencapaian misi organisasi dan karir. Realistis dalam memandang qiyadah dan jamaah yang dalam kadar tertentu adalah manusia biasa, tapi kebanggaan dengan bergabungnya diri saya dalam kafilah kebaikan ini tetap berbuncah.
Ads 970x90
Sabtu, 19 Januari 2008
CITRA DIRI
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon