PEMIRA KAMPUS
Pemira menjadi bahan pembicaraan yang cukup menarik, sebab bisa jadi barometer kekuatan kelompok dapat dilihat dari pemira. Kekuatan yang dominan akan memenangi pemira, dan kekuatan yang kecil dapat menjadi pecundang. Itu logika sederhananya, namun realitas yang cenderung ada dalam politik jelas-jelas pelik dan rumit, hanya akal cerdas yang bisa membalikkan logika sederhana diatas. Dengan kata lain, politik hampir-hampir tidak memberi ruang bagi mereka yang tidak mampu keluar dari cara berfikirnya yang linier dan mudah dibaca orang.
Sebagai contoh, pada kelompok biasa , mengajukan diri untuk berkoalisi dengan kelompok besar adalah biasa, namun berkoalisi dengan kelompok biasa lain kemudian itu solid dan menang itu berarti ekstraordinari, ilustrasi ini terbukti di pilkada Banyuwangi. Kelompok besar mencalonkan diri sendirian itu umum, tapi kalo itu proaktif membangun kampus bersama dan itu menciptakan koalisi kuat, itu baru luarbiasa (meski logika jatah singa adalah milik kita), sebab kita bertindak diluar perkiraan orang. Napolen bilang, “kalau saya berperang maka saya berfikir tentang apa yang difikirkan lawan jika saya dalam posisi ini, pola fikir inilah yang membuat saya menang”.
Sepakat juga saya dengan adagium, politik adalah seni berbagai kemungkinan. Secara skampusjektif saya menafsirkan seni berbagai kemungkinan adalah mencoba segala kemungkinan yang dapat memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh dengan mempertimbangkan aspek jangka pendek dan jangka panjangnya. Maksudnya begini; dalam logika siyasi, merebut kampus 1 adalah sebuah kepastian yang tidak diganggu gugat. Akal sehat siapapun pemiliknya akan menganggapnya embisil jika suatu komunitas dominan yang didalamnya terdapat amal-amal siyasi tapi tidak ngoyo untuk merebut kepemimpinan; apalagi beberapa agenda da’wah dapat diperkirakan sulit untuk direalisasikan jika tidak melibatkan otoritas kekuasaan. Oleh sebab itu pertimbangan jangka pendek secara pragmatis itulah jawabannya oleh sebab itu merebut KAMPUS 1 harus dilakukan.
Lucu juga kalau ada ikhwah cukup menjawab dengan cengiran ketika ditanya, kenapa akh kita kok ngoyo merebut KAMPUS 1? Mungkin saja cengiran si ikhwah tadi menunjukkan kualitas sesungguhnya; kualitas bacaan yang belum mencapai bacaan realitas, mungkin juga kualitas pemahaman tentang urgensi perebutan KAMPUS 1, kalau pun ada amat disayangkan, ternyata dalam barisan kita terdapat robot-robot yang berotak namun tidak berfikir.
Namun permasalahan ini belum tuntas, saya sepakat dengan ungkapan Nietche yang mengatakan hanya orang yang punya alasan saja yang layak bertahan. sebab jika pertanyaan apa yang akan dilakukan setelah KAMPUS 1 terrebut belum terjawab, tampaknya kita belum menemukan alasan dari motivasi gerak kita. Amat disayangkan jika itu ada pada diri kita. Rib’i bin Amir menjelaskan motivasi terkuat pasukan muslimin pada pasukan romawi untuk mengeluarkan penyembahan manusia kepada manusia, kepada penyembahan manusia kepada Allah SWT. Kita perlu mencari jawaban atas pertanyaan apa yang mesti dilakukan setelah KAMPUS 1 terpegang. Pencarian jawaban ini tentu melibatkan banyak pengambil kebijakan, baik kepada penanggungjawab umum, pembahas pencitraan, penjaga pengkaderan, pengkaji strategis, dan kelompok pemikir politik, bahkan melibatkan jaringan struktur setelahnya. Perlu kejernihan hati, kecerdasan, kemampuan untuk menatap jauh, dan kesediaan untuk berdialog dengan banyak orang. Selama kearifan itu belum terbangun dalam diri politisi, tampaknya julukan politisi polos –bukan hanif- semakin menandaskan kenyataan itu, kalau pun ada.
Kehadiran pilkada pada pertengahan 2008 akan membuat “pertarungan eksistensial” ini menguat. Hipotesis ini didasari oleh beberapa pertimbangan; 1. penguasa lokal akan menanamkan investasinya di kampus dengan cara menggolkan orangnya, sokongan dana disinyalir akan deras bahkan lebih deras mengalir ke kaki tangan penguasa lokal dibanding tahun kemarin. Hal ini diprediksi kuat akan melibatkan akademisi, sebab primordialisme ekstra masih terasa kuat dalam peta geopolitik dimana pun. Dan yang paling menarik peran mereka akan mendatangkan keuntungan sesuai dengan fungsinya. Segala yang fungsinya dijalankan akan mendapat eksistensi. Begitu juga dalam dunia akademisi yang bersinergi dengan politisi yang mencari posisi N1. lebih dari itu, kampus sebagai komunitas orang ”pintar” dalam jumlah yang besar tentu bisa membantu menambah suara pendukung. 2. akumulasi kejengkelan mantan kekuatan dominan setelah mereka sadar bahwa ada kekuatan baru yang ternyata mampu menggulingkan mereka dari kekuasaan yang selama ini mereka nikmati. Tentu saja nalar sehat siapapun pemiliknya akan divonis embisil jika purnawirawan kekuatan dominan itu diam dan tidak menyusun strategi untuk menjungkalkan pendatang baru ini. Lagi-lagi penyusunan strategi dan implementasinyapun melibatkan stakeholder diatasnya. Kejengkelan ini menjadi memuncak kalau ”mungkin” kepemimpinan kelompok baru ini ternyata tidak terlihat signifikansinya terhadap mahasiswa. Persepsi yang terbangun di civitas akademik adalah, si purnawirawan ini membuat imej bahwa mereka tengah berjuang untuk membungkam kekuatan yang selama ini berkuasa tapi tidak berkontribusi apa-apa. Persepsi ini menguntungkan sekali untuk si purnawirawan. Namun orang cerdas bilang ”yang hijau, yang hitam atau warna lainnya sudah ketahuan kok belangnya. Jadi persepsi ini tidak berlaku bagi orang pintar, tapi mandi untuk ploating mass. Di mana-mana ploating mass mesti jumlahnya sangat banyak.
Kembali pada pertanyaan jangka panjang, pertaruhannya adalah pertanggungjawaban kita atas kerja-kerja kita baik kepada pkampuslik ataupun kepada Allah SWT. Kegagalan akan memberi daya pukul berganda sebagaimana kesuksesan dapat memberi apresiasi yang maksimum, ya itulah konsekwensi dari pilihan berkuasa. Galangan musuh bersama hanya akan menjadi tarikan nafas pendek jika ternyata pkampuslik merasakan kepuasan atas kerja-kerja birokratnya, bahkan isu itu akan menjadi bumerang. Namun isu ini akan menemukan kenyataan historinya jika pkampuslik memang merasakan hal yang sebaiknya. Mungkin mepersiapkan kelompok pemikir strategis untuk memikirkan kontribusi apa yang akan diberikan jika kelompok dominan ini menjadi KAMPUS 1, jika sudah ada maka itu kemudian dijadikan kampanye dan direalisasikan jika jadi KAMPUS1.
Orang pintar punya kebiasaan dimana pun ia berada, apapun posisinya baik berdiri, ruku’ sujud maupun terbaring selalu saja berfikir, merenungkan kekuasaan dan kekuatan Allah. Kecerdasan ini merupakan produk persilangan dari kemampuan untuk mengambil pelajaran dari masa lalunya, dan mampu menatap jauh masa depannya. Orang yang bener-bener pinter, adalah mereka-mereka yang otaknya merupakan pesilangan dari kemampuan mengambil hikmah, visioner dam keberanian mengambil sikap. Kualitas tertinggi pada diri manusia terletak pada kearifannya dalam melihat perbedaan, dan keinginannya untuk belajar bersama, ketika manusia itu sudah mencapai taraf itu, maka layak disebut guru yang darinya sumber ilmu dengan kualitasnya terpancar. Itulah kualitas seorang muslim yang paripurna.
Pemira dimana pun ia berada, selain untuk melindungi aspek da’wah di sisi lain, yang perebutannya butuh orang yang serius, kuat, loyal dan komitmennya tidak perlu diragukan, juga dapat dijadikan pembelajaran untuk kader. Tentu saja menempatkan kader pemula dalam posisi strategis tetap salah meski alasannya pembelajaran, pembelajaran dapat mengambil bentuk seperti membuka wacana-wacana yang selama ini belum banyak dibuka seperti kemungkina koalisi dengan membangun semangat bersama membangun KAMPUS (itu logika eksternal, sedangkan logika internal dapat dianalogikan macan yang membiarkan gigi, kuku, tulang keras mangsanya dibagi kepada semut, hyena dll). Wacana untuk konvensi di mana orsinilitas pemikiran al akh diuji, kualitas kepemimpinan secara transparan dilihat juga perlu menjadi bahan diskusi yang menarik untuk dibicarakan kader. Saya melihat pendiskusian ini akan memperkuat daya nalar kader. Namun berlama-lama diskusi pun saya nilai tidak tepat, karena ia akan menumpulkan daya juang.
DEMOKRASI SIMBOLIK
Adalah Didik Rachbini yang menyebutkan demokrasi simbolik biasa terjadi pada komunitas yang lebih menyukai pesta artifisial, seperti pilkada, pilpres, pilgkampus, atau pemira dalam skup yang lebih kecil lagi, namun alpa akan makna sesungguhnya dari demokrasi. Demokrasi simbolik muncul dari dari posisi, yaitu pertama pemerintah dan pemimpin, di mana pemerintah dengan segala dan daya menebar pencitraan yang bagus supaya terpilih, namun ditengah jalan mereka mengadakan agenda sendiri-sendiri, jauh dari janji-janji yang mereka tebar di saat pemilihan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemimpin memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat, oleh sebab itu proses pembodohan ini tidak bisa terlepas dari kelompok terkuat dari komunitas itu. Bisa jadi para politisi masih menjadikan rakyat sebagai suporter bukan voter yang sesungguhnya. Kedua, demokrasi simbolik lahir dari masyarakat yang tidak kritis terhadap pemerintah. Mereka tidak peduli dengan perjalanan pemerintah dan tidak menghukumnya di saat kinerja pemimpinnya berada di bawah harapan mereka.
Mungkinkah ada yang baru dalam pemira kali ini, jawabannya mungkin, tergantung pembuktiannya, dan pembuktian tergantung pada perencanaan. Jika jumlah suara yang diterima tidak beranjak juga dari perolehan kemarin, mungkin saja tingkat akseptabilitas repkampuslik mahasiswa juga ditunjukkan ke sana, lagi-lagi panitianya (dari mana lagi dia datangnya?) gagal memberi pencerdasan politik kepada pkampusliknya? Atau mesin politik kita yang biasa-biasa saja. semoga saja ada peningkatan, sebab kalau tidak ini menunjukkan kita bekerja repetisi saja, dan ini akan menjauhkan dari peluang untuk mendapatkan TKDnya Fadel Muhammad (kalo di Gorontalo). Kita adalah pemilih kemungkinan itu, termasuk mungkin terinspirasi setelah membaca tulisan ini, atau malah jengkel.
Ads 970x90
Minggu, 09 Desember 2007
pemira kampus
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon