Manusia memiliki aspek psikologis yang lazim dimiliki oleh makhluk lemah, yaitu aspek ketakutan, ketakutan ini merupakan ekspresi alami di saat berhadapan dengan yang lebih kuat atau menjadi ekspresi ketika berhadapan dengan ketidakpastian. Masa depan yang tidak pasti inilah menjadi salah satu ketakutan itu sendiri. Mungkin saya dan mungkin juga anda, semuanya memiliki ketakutan, kecuali tidak ada pilihan lain kecuali mencabut urat takut itu sendiri mungkin menjadi berbeda.
Begitu pun saya, ketakutan untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti ini masih saja muncul dalam lintasan-lintasan fikiran ini. Rasa takut itu terkadang berjalan terlalu jauh, dan bermetamoposa menjadi tuntutan-tuntutan. Ahh akankan ketakutan itu terlalu betah bersama saya, mungkinkah itu hanya ilusi yang mampir sesaat kemudian ia akan berjalan kembali ke ujung yang tidak bertepi, tidak juga, sebab ilusi itu angan-angan yang dibentuk. Pernah pula dan beberapa kali muncul sebuah pertanyaan, apa yang bisa engkau berikan kepada orangtuamu, apakah engkau ingin menghajikan mereka di kala mereka telah renta, padahal sejak dulu bapak hanya minta 1 saja, “Rom, Bapak mah ingin dihajikan”. Ingin rasanya saya sembah sujud mencium kakinya, meski tetap saja tidak mampu bila sudah berada dihadapannya.
Terlalu banyak mungkin ketakutan manusia itu, oleh sebab itu doa menjadi solusi manjur untuk menenangkan jiwa yang selalu resah dengan keterbatasannya. Mungkin pula kita merasa resah kalau-kalau jodoh itu bukanlah sesuai dengan keinginan, atau kita bukan perwujudan suami ideal versi pasangan kita. Masya Allah, berilah saya kemampuan untuk membedakan ketakutan yang produktif dengan yang tidak.
Hari ini pun saya mengalami ketakutan yang berwujud dalam bentuk kecemasan. Dalam kajian psikologi yang saya pelajari, kecemasan adalah bentuk ketakutan yang sebenarnya tidak tentu akan terjadi. Di ujung kepemimpinan saya, keresahan dan ketakutan ini datang menghantui jiwa saya, apalagi setelah adanya perubahan pikiran dari teman-teman, dari pandangan mereka yang saya terjemahkan dari ekspresi verbal evaluasi mereka. Meski saya paham betul bahwa mereka adalah perwujudan makhluk ideal yang menuntut kesempurnaan, mungkin itu juga menjadi sosok masa lalu saya, perfeksionis, kaku dan konservatif.
Akankah pertanggungjawaban saya ditolak? Mungkin saja ya mungkin juga tidak, namun di sanalah letaknya, ketidak pastian membuat kecemasan. Kalau jawabannya jelas ya atau tidak ditolak, maka segala upaya pikir pun tidak perlu banyak dikerahkan, sebab jawabannya sudah pasti. Jujur saja saya merasakan hal itu, apalagi cara penilaian dari beberapa pribadi yang cenderung reaksioner, tanpa pemahaman dan partisipasi yang mendalam.
Sakit hati, ? itu bisa diatur, namun justru ketidak tenangan saya hadir dari beberapa kejadian musda yang banyak menghasilkan ketidaktenangan itu karena metode penilaian yang jauh dari kesan ilmiyah. Tentu pola penilaian yang transparan dan disepakati bersama akan membuat saya legowo dengan kelemahan manajemen dan kepemimpinan saya. Namun ketika itu datang justru dari pemikiran yang dangkal sang penilai, salahkah saya jika menyatakan kekecewaan?.
Hari sabtu tanggal 28 Desember tadi, saya mengajak bersama-sama untuk mengevaluasi pencapaian kerja-kerja selama ini, saya merasa ada yang tidak pas dalam pola penilaian teman-teman saya, ada beberapa logika yang mereka pakai yang bisa saya jungkal, namun saya memilih untuk diam, supaya kebebasan ekspresi mereka tidak terganggu dengan itu, seolah apa yang saya kerjakan bersama teman-teman satu tim itu berantakan. Seperti ungkapan sinergitas; saya bisa saja bertanya tentang pemahamannya tentang sinergi, apakah sinergi itu kemudian dipahami sebagai satu kerja yang dilakukan bersama-sama, saya kira konteknya tidak sepenuhnya seperti itu, sebab bagi saya awal dari sinergi adalah mindset yang kemudian turun dalam bentuk program kerja, tentu evaluasi sinergitas perlu diangkat kalo memang sistem kerjanya sinergis seperti Humas dan Kastrat, namun bidang seperti PO dan P3M tampaknya tidak perlu dipaksakan. Ada ruang kosong dalam pikirannya. Saya khawatir pola fikiran rancu seperti ini justru dominan. Alih-alih suara kritis, namun tanpa diimbangi dengan validasi data, maka itu akan mempersulit keadaan.
Entah apa yang terjadi pada tanggal 5-6 Januari?, mungkinkah pertanyaan itu menghujam pada ulu hati saya, atau ada perubahan sikap dari rekan satu tim yang membuat posisi saya sulit, untuk sementara saya hanya ingin bersikap jujur, jauh dari politisasi. Namun memandang jernih ini justru sulit didapatkan disaat kedewasaan itu hilang karena keinginan untuk berbeda. Sempat saya punya niat untuk merumitkan perkara mudah dan memudahkan perkara rumit, sehingga apa yang saya lakukan selama ini terlihat sepele untuk aspek kegagalan, namun terlihat kuat untuk aspek kelebihan, namun ternyata saya mulai menyimpan saham kebohongan pada diri kader.
Lemah, mungkin itulah persepsi yang terbangun dalam benak teman-teman semuanya, di kala saya tidak memilih sikap melawan atas kerancuan cara kritik teman-teman. Saya akui saya salah memilih teman yang “lemah akalnya” untuk bekerja sama dengan saya, saya akui salah memilih teman yang mudah terpengaruh oleh suhu luar dalam menentukan sikap. Saya juga lalai telah memilih teman yang terlalu banyak berkeluh kesah, itu sikap yang dapat saya ambil dari sebuah idealisme. Jangan-jangan justru salah saya juga yang tidak detail dalam memahami kekuatan dan kelemahan tiap kader. Mungkin saja.
Biarlah saya memilih sikap saya yang alami, izinkan saya untuk jujur dalam mempertanggungjawabkan kerja-kerja besar ini, saya hanya berharap bahwa sikap ketebukaan ini hadir dalam ruang-ruang pertanggunjawaban tanpa intrik-intrik logika yang mumet. Terima kasih kepada seluruh sahabat organisasi amal ini baik di komisariat maupun di kamda yang telah memilih untuk percaya dalam membangun tim, apapun kendala yang ada, namun kebersamaan ini tetap bersemayam dalam hati ini.
Jujur saja, terkadang kebersamaan ini menjadi pertimbangan ini menata masa depan; mungkinkah personal yang inkonsisten akan saya libatkan kembali dalam mega proyek hidup saya? Akankah pandangan jernih ini akan tetap bertahan, sementara ketidak pastian sikap itu tetap menghantui.
Wallahu ‘alam bimaa fil qulub
Ads 970x90
Minggu, 30 Desember 2007
KETAKUTAN MASA DEPAN
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon