Minggu, 30 Desember 2007

KEMISKINAN ITU DI SISI KITA

Orangtua itu berjalan perlahan, setengah terseok-seok, dari tatapan matanya, terpancar sinar kepapaan, dari suara melasnya, tertangkap rasa lapar dan dahaga yang luar biasa. “Mas sedekah Mas”. Orangtua itu meminta belas kasihan ketika saya berjalan di depannya. Orangtua malas…. Saya gak punya uang receh. Saya pun tidak menghiraukan keberadaanya. “Masyaallah”, saya berhenti sejenak saya ingat bahwa sebagian dari rizki kita terdapat hak mereka. Terlalu pelitkah saya kalau saya sisihkan uang seribu rupiah yang amat berarti bagi mereka, terlalu kejikah perasaan saya kalo mengingat penyesalan Imam Syafii yang gagal menangkap kepapaan sahabatnya dari pancaran wajahnya.

Saya pun menerawang, kemakah anak cucunya, kok tega-teganya mereka membiarkan Bapaknya berjalan terhuyung-huyung kelaparan, atau mungkinkah keturunannya itu mengalami nasib yang sama, pikiran saya kembali ke kampung halaman, saya kembali teringat pada seorang kakek yang hidup sebatang kara, tanpa anak cucu, hidupnya bergantung pada penghasilannya memancing ikan di sungai dan mungkin dari belas kasihan para tetangganya. Berita terakhir yang saya dapatkan beberapa tahun yang lalu, kakek itu meninggal sebatang kara, padahal dulunya dia kaya raya, menerima limpahan harta warisan dari orangtuanya.

Mungkinkah ada kegagalan dalam pola berfikir kolektif kita dalam menghadapi kemiskinan yang nyata ada di sisi kita. Tampaknya kebanggaan itu bisa terpancar setelah kita bisa memberi beberapa ratus atau ribu rupiah kepada orang miskin melarat, termasuk diri saya, bangga rasanya bisa keluar dari kenyataan psikologis yang berat melepas sebagian harta kita. Tampaknya mindset itu perlu sedikit demi sedikit arahkan pada ranah pemberdayaan.

Salah satu teman saya S pernah berdiskusi dengan saya, “akh kalau antum kasihan sama mereka, solusi jitunya adalah menikahi mereka”. Wah proyek ambisius tuh, pikir saya. Karena siapa sih orang miskin yang mau menolak lamaran saya, ya mungkin saja ada, tapi hanya mereka yang mengaku punya idealisme cinta; cinta tidak untuk dibeli. He he mungkin begitu.

Tapi kenapa bukan S saja yang memulai proyek ambisius itu, apalagi kan jatahnya 4 kalau mampu itu juga. Saya lontarkan pikiran itu; “akh kenapa bukan antum saja”. Saya rasa jawabannya bukan jawaban, sebab bener juga, berat menerima kondisi pasangan yang secara gaya hidup, pemikiran yang perbedaannya terlampau jauh. Dari senyumnya saja sudah kelihatan kalo dia sendiri emoh make proyek dia sendiri. Saya sendiri gitu kok (sekarang).

Namun apakah kemiskinan itu harus dihadapkan pada kenyataan bahwa itulah cerminanan mentalitas kita? Ya namun apakah miskin itu berujung pada perjuangan untuk mempertahankan hidup atau malah berujung pada pilihan mencabut urat malunya, dia meminta-minta belas kasihan orang lain.


EmoticonEmoticon