“Jangan memilih itu”
jerit batinku tidak berdaya, di saat teman saya, Dedi memilih untuk menjadi buruh ketimbang meneruskan sekolahnya setelah lulus MI.
”Saya jadi apa aja siap Rom, jadi tukang tembok, tukang ngecat juga gak apa-apa, yang penting saya bisa kerja” dia menambahkan.
Rupanya pikiran dia telah berjalan di depan saya, saya tidak sanggup berfikir lain selain mengiyakannya. Dua adiknya yang kembar, rumahnya yang tinggal sepetak, bapaknya yang hanya pegawai serabutan kayaknya maksa juga kalau harus sekolah, apalagi biayanya mahal. Sudah lama saya bertetangga dengan dia, sampai sekarang dia tetap bersahaja, hanya saja kulitnya semakin legam.
Beberapa waktu yang lalu, Bapak bercerita kalau si Dedi itu pernah bekerja di pabrik baja di Bandung, dia bekerja di tingkat paling dekat dengan peleburan baja. Kemarin dia keluar karena dia selalu ingat pada gejolak api neraka. Saya Cuma bisa tersenyum simpul, menertawakan dirinya saya yang merasa pintar tapi tautan hati sulit untuk berada di surga maupun mengingat neraka.
Jangan salahkan mereka, hati kecil saya mengingatkan di saat bersitan fikiran saya mengaitkan kebodohan dengan kemiskinan mereka, suara dan perasaan mereka hanya telah direduksi menjadi renik-renik kecil dibawah mikroskop oleh arogansi yang bernama pembangunan. Atas nama ekonomi, mereka telah diberi tempat yang berselimut embun dan berlampu rembulan. Tiga bulan lagi, hidung mereka akan meler, sendi-sendi mereka akan asam urat dan paru-paru mereka akan bolong terkena angin malam, sistem pencernaan mereka rusak karena makan nasi basi yang dibuang petugas kereta api.
Cukup.... sampai manakah mereka menderita atas nama kebodohan dan kemiskinan, jangan salahkan jika mereka mencabut urat malu mereka demi mendapatkan uluran tangan sang pemberi meski itu hanya seratus atau dua ratus rupiah. Mereka telah mencabut urat takut mereka demi segelas air minum dan sebungkus makanan. Kaki kecilnya harus berlari melepaskan diri dari kejaran satpam, dada mereka yang tipis kembang kempis menahan lelah.
****
”Jang, emak Cuma bisa memberi gorengan, oleh-oleh buat dibawa ke Malang, sebagai pengingat emak saja”. mata saya terasa panas menahan air mata, rupanya emak selalu mencari tahu kapan saya pulang ke Malang supaya bisa bikin gorengan buat di bawa ke Malang. Lebaran kemarin sengaja saya rahasiakan tanggal pemberangkatan saya ke Malang.
Terasa benar sejuknya udara maghrib kota Tasikmalaya, saya langsung meluncur ke rumah nenek, setelah ketemu, firasat nenek yang tajam langsung menangkap niat saya. Beliau merangkul saya, ”rom, emak Cuma bisa ngirim doa, keadaanya lagi begini Rom. Lagi-lagi kerongkonganku tercekat, mata saya terasa panas, berat sekali menahan airmata.
Ya Mak... ucapku singkat menahan tangis
Pamit mak, pak sambil menyalami dan cium tangan, kakek saya yang sudah lemah memaksa diri untuk bangkit dan mendoakan ”Iya Jang, Bapak doain semoga berhasil” ucap bapak. Saya langsung ke luar supaya lelehan air mata saya tertutup sinar lampu yang temaram.
Semangat hidup emak terlalu kuat untuk saya tandingi, dengan kondisi finansialnya yang lemah, dia pantang meminta kepada suami anaknya yang mapan, pantang hidup bersama mereka. Beberapa kali saya mengunjungi bapak dan emak ke jongko jualan makanan kecil dan gorengan di MI Muhammadiyah di kampung saya, Babakan Kalangsari.
******
Ingus itu keluar dari hidung anak kecil, sinar bola matanya tidak menampakkan kebencian kepada dunia yang telah memperlakukannya kejam. Jemari kecilnya kesana kemari cekatan mengambil koran satu demi satu di gerbong kereta mutiara selatan.
”Nak, rumahmu di mana”? Tanyaku
“Di Lengkong” telujuk mungilnya menunjuk perkampungan kumuh di sebelah utara stasiun.
Dia kembali mengambil koran sisa alas tidur orang-orang.
Apakah dia punya mimpi?
Ingin jadi apa kelak?
Berapa kali dia makan?
Apakah ibunya selalu bercerita sebelum mereka tidur?
Kenapa ada garis merah memanjang di lengannya, apa yang telah menimpa anak itu?
Dia terlalu kecil untuk menyelesaikan rumitnya masalah yang harus dia urai.
Kereta kembali berjalan, anak kecil itu meloncat keluar gerbong. Diluar tampaknya Ibunya telah menunggu dengan bayi yang sedang menetek.
Ads 970x90
Kamis, 20 Desember 2007
kemiskinan itu ada di sisi kita
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
apakah hanya tokoh-tokoh laskar pelangi-nya andrea hirata yang menemukan "bahagia" dalam kemiskinan?
BalasHapus--------
what the means of happiness?
tergantung sih, miskin di harta miskin di jiwa, atau sebaliknya. atau malah kaya kedua-duanya. namun yang terpenting adalah kekayaan jiwa kita bukan pelarian dari kemiskinan duniawi
BalasHapus