Kamis, 22 April 2010

Dia yang tenggelam, Moertafee.

Mungkin sudah menjadi garis kehidupan siapa pun, kalau timbul tenggelamnya sebuah bangsa juga dialami oleh para manusia, seperti para pejabat, artis, pemimpin, bahkan aktivis mau pun professional. Hal ini saya rasakan di lokasi kerja saya yang mengharuskan saya untuk melakukan perjalanan ke luar daerah yang tidak dekat.

Sosok Moertafee ini cukup menghanyutkan. Perawakannya yang ideal, bahkan diatas kebanyakan orang, sopan dan ramah ini membuat semua orang menyenangi untuk bergaul dengannya. Dari bibirnya yang sering menebar senyuman ini sering juga menyemburkan nasihat dan wejangan hidup yang sederhana, sesederhana alam pikirannya yang terpatri oleh dunia kehidupan yang statis, kehidupan desa di selatan Jawa Timur, kota gaplek.

Saya mengenalnya sudah cukup lama, sekitar 8 tahun lalu, sosoknya yang memikat benar-benar membuat siapa pun (termasuk saya) tidak bisa menolak untuk tidak merasa nyaman ada di sisinya, di sisi pribadi yang hangat dan ramah itu. Sayang sekali pertemuan ini hanya berlangsung singkat, hanya dua tahun saja, perpisahan ini terjadi setelah dia memutuskan untuk berangkat ke kota tetangganya, dia memilih bekerja, ya bekerja sebagai juru tulis di papan hitam putih dan sekaligus penanggung jawab administrator lembaga belajar yang terkenal.

Sesaat setelah perpisahan itu, beban tugas yang dia pikul bersama rombongannya dan gerbongnya dalam menebar pengertian kitab yang dia pahami lambat laun saya rasakan mulai mendekati saya. Sistematik sekali pendekatannya, ini seharusnya bermakna bahwa saya harus menyiapkan rombongan dan gerbong untuk menyambut beban itu, namun pikiran sejenis itu tidak hinggap dalam pikiran saya yang lugu saat itu. Saya terpengap-pengap melankolik memikul beban itu semua, dan jiwa saya dipaksa untuk dewasa dini dalam meneruskan estafet pergerakan pengertian ini.

Di tengah kesulitan itu, sering sekali saya merasakan keinginan kuat untuk bertemu dengannya, bertemu dengan sesosok manusia dewasa yang ingin mendengarkan keluhan saya yang tidak terkanalisasi ini, meski saya tahu, sulit rasanya bagi dia untuk memberi jawaban. Keinginan kuat itu memang tidak menemukan kenyataannya, dan saya pun harus belajar mengerti bahwa tidak semua keinginan kuat itu harus terjadi saat itu juga, mungkin ia akan terjadi di saat keinginan kuat itu tidak lagi kuat, mungkin kenginan kuat itu juga akan terealisasi di saat saya tidak lagi menginginkannya. Dan memang Tuhan tidak pernah mau dipaksa oleh keinginan hambanya yang serendah debu ini.

Tahun 2006 adalah tahun yang banyak memberi warna dalam hidup saya, warna yang sebelumnya telah dikesankan oleh orang lain yang belajar menebak-nebak masa depan kawan-kawannya, “Romi akan segera kerja”. Tebakan orang lain itu tidak saya hiraukan, meski setelah itu saya sadari kalau tebakan itu benar. Di tahun ini saya bertemu lelaki yang pernah saya harapkan kehadirannya, Moertafee (sebagaimana keinginan saya), dan di tahun ini pula saya sibuk mengurus alat tukar untuk bekal hidup (sebagaimana tebakan kawan-kawan saya).

Kehadirannya di depan saya, menampilkan sesuatu yang lain, dia tampil dengan wajah barunya yang lebih sumringah, tanpa dia bicara dia sudah memberi saya sinyal kalau dia kini sudah “SUKSES” kata SUKSES itu dia tandaskan dengan perawakannya yang semakin berisi, dengan dasinya yang berkalung memberi bukti bahwa posisinya sekarang adalah pimpinan di institusinya, sekaligus kepala keluarga dengan istrinya yang penuh prestasi. Beranak satu yang masih kecil. Semua atribut ini semakin mengukuhkan dia bukan hanya sebagai seorang pria mapan, namun juga sebagai pemimpin sejati, sekaligus pejantan tangguh tentunya, hal-hal seperti itulah yang menari-nari dalam kepala saya yang suka nebak-nebak itu.

Seiring berjalannya masa, hukum waktu ternyata berlaku juga. Apa pun yang luar biasa akan layu keluarbiasaannya dan kembali menjadi biasa. Hukum ini juga berlaku pada lelaki yang pernah saya kagumi ini, Moertafee.

Semula tidak banyak yang saya pikirkan bahwa hokum waktu yang suka membiasakan yang luar biasa ini ditopang oleh variable-variabel yang pasti. Hampir sepasti hasil satu di tambah satu. Namun hal yang menimpa Sosok Moertafee yang lambat laun menjadi sosok biasa lagi menyadarkan saya kembali tentang tuahnya hokum waktu ini. dam lebih tragis lagi, bersamaan pula semua atribut-atribut yang dulu terlihat luar biasa, kini menjadi biasa lagi, sebiasa teman-temannya dan sebiasa saya juga tentunya. Dan proses peralihan sosoknya yang luar biasa menjadi biasa ini amat tampak sekali setelah sistem pergantian kanit yang biasa dilakukan setiap 4 tahun sekali itu akhirnya menerpa Moertafee yang gagah itu.

Sosok yang sedang menjadi biasa ini kemudian diperparah oleh kenyataan yang memang pergantiannya itu ditunggu oleh semua orang, oleh staffnya dan oleh atasannya yang ternyata - saya baru tahu- punya perasaan kesal oleh Moertafee yang bermulut manis itu yang hobi menyisakan pekerjaan yang tidak tuntas. Al hasil momen pergantian kanit ini kemudian menjadi momen yang teramat ditunggu oleh para anggotanya dan atasannya yang memang sudah lama tidak berkutik oleh mulut manisnya yang sudah terlatih sejak tahunan yang lalu.

Hiruk pikuk momen penggantian ini semakin diperkuat hingar bingarnya oleh sosok penggantinya yang memang seorang pekerja keras, perhatian, suka menuntut dan bicara blak-blakkan. Berbalik sifat dari Moertafee yang sopan namun teledor, dan pelupa itu. Hiruk pikuk ini masih bertahan lama sampai waktu satu pekan, sampai moment raja (rapat kerja) diakhiri, sementara itu, Moertafee mulai melangkah menepi, duduk sendirian dan kesepian sambil mendengar hiruk pikuk yang semakin lamat-lamat dari para mantan anggotanya dulu, di saat dia masih berjaya, satu pekan ke belakang.

Melihat kenyataan ini, dia pun terlihat semakin jarang masuk kantor, entah karena tidak punya beban harian, atau oleh lemahnya aturan yang membuat dia leluasa untuk tidak masuk kantor, atau alasan apalah yang berkecamuk dalam pikirannya, namun yang pasti bahwa semakin jarangnya murtafee masuk kerja juga beriringan dengan semakin lemahnya minat orang-orang untuk meminta petunjuk darinya.

Kenyataan tragis ini, saya syukuri dan kasihan. Saya syukuri karena pembawaannya yang ceria dan penuh senyum ini membuat saya menilai, kalau dia saat ini fine-fine aja, tidak ada yang berubah. Sementara saya kasihan melihat kondisinya yang semakin kontras antara dulu sebagai pengambil kebijakan yang suka ditunggu petunjuknya dengan kondisi saat ini yang banyak bekerja sebagai seorang juru ketik untuk siapa pun yang belum membayar kewajibannya.

Berkali-kali sih saya sering menyadarkan diri saya untuk tidak mengasihaninya, dan berulang kali pula saya mengingatkan diri saya kalau definisi kasihan itu jangan suka dipaksakan, sebab definisi kasihan itu bagi saya itu lebih tepat dikenai kepada mereka yang tidak nyaman dengan dirinya, bukan dengan atribut luaran. Sementara Moertafee sendiri terlihat amat nyaman dengan dirinya saat itu.

Kini sang Moertafee ini mulai belajar menyibukan diri, setahu saya dia mulai menata dan mengembangkan isi sakunya, tentunya dia lakukan di sela-sela waktu dia tidak masuk kantor, beberapa saat yang lalu saya melihat dia sudah punya banyak hewan, dan kebunnya pun mulai panen. Mungkin karena itu pula, bahan obrolannya mulai beralih tema ke perkebunan dan perhewanan yang sederhana itu, di mana pun dan kapan pun dia bertemu dengan tetangganya, dengan takmir masjid, dengan kawan lamanya, atau dengan mantan staffnya dulu. Sementara tema rumit seperti manajemen, administrasi dan kepemimpinan tidak lagi dia jamah. Meski demikian, hiruk pikuk di kantor yang dinamis tetap saja berjalan seperti biasa, baik ada si Moertafee mau pun tidak ada.

Meski begitu, ternyata atasannya diam-diam masih tetap mengomel, kecewa atas kinerja Moertafee yang tidak tuntas juga di amanahnya yang baru itu, merasa dirugikan karena biaya pelatihan untuk Moertafee yang besar itu ternyata tidak terlihat bekasnya pada diri Moertafee yang bersahaja itu, bingung oleh posisinya yang dilematis diantara dua tarikan, tarikan antara keinginan untuk memecat Moertafee yang layak dipecat karena kerja-kerjanya gak ada yang beres sementara dia tetap digaji, dengan tarikan kenyataan kalau dia tidak tega untuk memecat Moertafee yang sudah sekian lama mengabdi, tentu saja dengan kesederhanaannya.

Satu minggu yang lalu, baik hari senin wage atau pun hari jumat kliwon, saya tetap bertemu dengan Moertafee, kemarin pun saya masih ketemu dengan Moertafee, masih tetap dengan kondisinya saat itu, murah senyum, sederhana dan menyenangkan, bagi siapa pun yang bertemu dengannya, kapan pun itu waktunya dan di mana pun.

Ahh diam-diam saya mulai bahagia dengan kondisinya saat ini. dia mulai memasuki ranah perkebunan dan peternakan yang dia mengerti, sesuai dengan alam pikirannya yang sederhana, gaya hidupnya yang sederhana, keinginannya yang sederhana, sebagaimana yang tergambar dari wajahnya yang selalu ceria.

Di tengah tenggelamnya dia dari arus kantor yang melelahkan itu, saya diam-diam mengagumi juga dengan kesederhanaannya si Moertafee yang konsistensi itu.

Hidup Moertafee….


EmoticonEmoticon