Jujur saja banyak keterkejutan yang luar biasa saat saya menikah, sebab
banyak tugas yang tidak biasa saya kerjakan harus dikerjakan sebagai tuntutan
suami dan ayah. Ternyata saya gagal mengantisipasi itu sebelum saya nikah.
Jujur terlalu banyak cerita indah yang saya terima oleh kawan kawan saya
yang sudah menikah, pun juga saya terima dari novel novel yang saya baca, kata kata yang selalu saya ingat adalah
menikah itu kalau tidak enak yang enak sekali.
Bagi mereka yang mengalami keenakan mungkin tidak keliru. Saya tidak mau
menyalahkan kawan yang selalu menceritakan keindahan demi keindahan menikah. Ya
yang salah itu saya dalam membaca pesan yang tidak tersirat. Bahwa kenikmatan
dan enak itu ternyata hasil dari perjuangan. Perjuangan itu yang jarang
diceritakan. Yang disampaikan itu keindahan demi keindahan fasilitas layanan
gratis dari isteri. Padahal perjuangan mengalir deras sesaat setelah nikah.
Mulai membangun keutuhan keluarga, memastikan biaya pendidikan anak berjalan
lancar, kebutuhan dapur terpenuhi. Ya memang tidak bisa memakai otak kiri semua
itu benar. Tidak perlu lah terlalu kalkulasi, itu benar. Yang penting seimbang aja, antara keberanian
mengarungi ketatnya hidup dengan perencanaan hidup di dunia dan akhirat.
Kembali pada keterkejutan saya, ternyata sebelum menikah, sangat baik jika
prepare nya maksimal terutama persiapan attitude bersama dengan orang yang
belum terlalu kita kenal, terutama saat bayi hadir dan terutama saat kebutuhan
rumah tangga itu mendesak. Sebab urusan perut adalah urusan putaran harian yang
tidak bisa ditunda. Meski pake puasa tetap harus ada sahur dan buka. Haha.
Kegagalan attitude dan kegagalan dalam membangun financial merupakan
kegagalan terbesar yang harus direcoveri betul oleh saya, namun bukan ayah
hebat jika selalu menyerah sebelum tarung bergelut menuntaskan tugas.
Kegagalan attitude itu terasa saat punya anak… jujur saya sangat kewalahan saat
anak pertama lahir. tidak perlu lah orang tahu kegagalan saya. Mungkin semua
bujang pernah mengalami seperti saya, sebab biasa melayani diri sendiri tiba
tiba hadir si Raida yang mungil dan tidak mengenal kata tunda, jika nangis
lapar yang harus segera disiapkan susu, atau harus segera ganti popok, padahal
saya termasuk lelaki gampang merasa jijik. Dan perasaan yang saya hindari itu
ternyata Nampak nyata di depan saya keluar dari makhluk yang unsure darah
dagingnya dari tulang rusuk saya. Tidak bisa dihindari, sebab anak semakin kuat
menangis dan isteri pasti complain jika saya hindari.
Alhasil, di awal awal, hubungan saya sama anak kurang baik, kurang akrab
bahkan cucu pertama itu adalah anak pertama saya, Anda tahu persaingan dingin
sangat terasa walah sekuat tenaga sya hindari. Namun persaingan pengaruh antara
mertua dan diri saya tidak bisa saya hindari, terlebih saat ada beberapa ritual
budaya yang tidak saya mengerti dalam akal logis saya.
Its oke, dalam budaya kompromi ini tampak menyerah bukan berarti kalah,
tapi membiarkan akal berfikir mencari jalan keluar, coba pelajari mimic orang
jawa yang tampak lemah dan pasrah itu menyimpan energy pemberontakan yang kuat
yang hadir mengalir dalam aliran yang selaras dengan alam, itulah kekuatan
orang jawa yang selalu menjadikan keselaran alam menjadi indicator kebaikan
hidup.
Di zaman kolonialisme juga ternyata peperangan yang menguras energy belanda
salah satunya perang melawan Laskar DipaNegara. Coba kalian lihat wajah
teduhnya seperti angin semilir yang energinya konsisten yang berpotensi
melahirkan kata rebut itu merasuk benar dalam tulang sumsum serdadunya. Berkelahi
dengan apa pun meruntuhkan harga diri itu kalimat wajib dalam medan juang.
Saya belajar untuk sumeleh, walau itu sulit dimengerti dalam medan
psikologis saya, namun hidup selalu menyisakan paksaan untuk belajar untuk
bisa. Lelah jujur lelah. Saya harus menyisakan ketidak sepakatan saya dalam
bungkus senyuman yang berbeda warna.
Biarlah itu proses belajar. Pelajaran hidupnya, hidup akan member pelajaran
saya dari aspek yang paling lemah dalam diri. Jadi semakin kaku sikap,
prosesnya akan semakin menyakitkan. Sebab hidup akan memaksa untuk menerimanya.
Saya kembali harus menerima aturan pola pikir lama saya. Apa pun yang
tampak terlalu indah sebaiknya harus mulai hati hati. Termasuk cerita tentang
keindahan menikah. Saya perlu mereposisi kembali, bahwa untuk menciptakan
keindahan membutuhkan keringat dan payah. Dan ini yang alpa disampaikan oleh
para provokator nikah.
Sampaikan saja tidak semua orang bisa romantik kok, tidak semua orang
pandai merawat bodi, dan tidak semua orang asik, tidak semua pasangan mau capek,
dan itu bisa saja ditemui dalam diri pasangan kita atau dalam diri kita, tapi
itu jangan jadi persoalan selama bisa belajar menjadi pasangan yang asik.
EmoticonEmoticon