Senin, 22 Agustus 2011

POLITISI

 
Beberapa saat yang lalu, saya memberanikan diri minta kepada salah satu Anggota dewan untuk membantu kegiatan buka bersama yang diadakan oleh warga setempat. Jawabannya cukup mengejutkan;
Tidak bisa membantu, dengan alasan tidak ada uang”.
Respon saya pertama kali dalam hati saya adalah rasa kasihan dan keinginan kuat untuk memahami. Jawaban ini tentu bukan jawaban sederhana, sebab hingga saat ini masyarakat terutama konstituen masih belum rela jika jagoannya tampak tidak seperti dewa yang serba bisa membantu, apalagi mereka sendiri memang terjun langsung berpeluh ria di bawah terik matahari untuk berkoar-koar berkampanye, dan rela bermalam-malam menghadapi tusukan angin malam hanya untuk menempel poster jagoannya itu supaya terpilih menjadi aleg. Namun dalam kacamata saya itu wajar, apalagi mencari  harta halal dalam dunia politik bukanlah perkara yang mudah, namun saya pun tidak rela jika politisi baik ini menjadi bulan-bulanan konstituennya hanya karena harus milah-milah harta mana yang halal dan mana yang haram yang kemudian berujung pada minimnya penerimaan konstituen saat mereka membutuhkan bantuan.
Saya sepakat jika aleg tersebut tidak berhenti pada alasan financial yang terbatas, sebagai orang yang bermimpi Indonesia yang lebih baik, perlu ada pikiran setelahnya, yaitu perlu ada terobosan untuk menjembatani antara keterbatasan dengan permintaan dana dari konstituen yang memang tidak mungkin dinafikan, apalagi diharamkan dengan pungsinya selaku pemegang amanah rakyat yang menjaga kehalalan setoran.
Sangat dimungkinkan jika kelincahan dalam melihat peluang sumber uang adalah factor yang paling menentukan dalam membangun kekuatan financial anggota dewan, ini persoalan skill dan kecerdasan, terlepas dari kapasitasnya dalam memahami persoalan hukum Islam yang mengatur harta halal dan haram.
Saya kenal sama anggota dewan yang namanya tidak perlu saya sebutkan. Meski dia saat ini tidak lagi menjadi anggota dewan, namun namanya masih dikenang di kalangan konstituen, karena ditangannya cukup banyak harapan konstituen yang direalisasi, seperti permodalan, bantuan social, pertanian dan lain sebagainya. Kejeliannya dalam melihat peluang sumber dana yang kemudian digabungkan dengan kecerdasannya dalam memahami perundang-undangan, membuatnya selamat dari lirikan  aparat. Karena yang dilakukannya semua sesuai dengan aturan. Namun sayangnya kemampuan itu tidak bisa disamaratakan, sebab itu indra pengedus uang setiap orang berbeda-beda, apalagi kalau digabungkan dengan kecerdasan dalam melihat celah perundang-undangan dan jam terbang.
Kembali ke persoalan tadi, yang jadi pertanyaan adalah apa upaya untuk meningkatkan kemampuan financial anggota dewan tanpa harus melupakan peranan utamanya selaku perwakilan rakyat..?
Langkah Pertama yang dapat dilakukan oleh anggota dewan adalah mengenal pelaku usaha baik itu investor, pemilik usaha atau pun para agen marketing. Semua ini harus dikenal karena ditangan mereka sumber-sumber keuangan itu ada. Keterbatasan kenalan dengan para pelaku usaha akan sangat mungkin berdampak pada keterbatasan pada financial untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasional yang terkait erat dengan konstituen.
Selain itu Perlu dilanjutkan pada langkah kedua yaitu kenal dengan manusia-manusia yang membutuhkan produk dari pelaku usaha yang sudah dikenalnya itu. Contoh, Jika Anda kenal sama pemilik perusahaan farmasi, maka selaku anggota dewan wajib mengenal kepala rumah sakit, baik swasta atau pun negeri. Begitu pun jika Aleg punya kenalan trainer, bisa juga dihubungkan dengan beberapa pimpinan bank cabang lokal untuk mentraining seluruh karyawannya. jika sukses Aleg tersebut akan memperoleh fee penjualan. Menurut pandangan saya itu dana halal. Jadi hanya kenal saja tidak cukup, Aleg harus menghubungkan dan deal.
Saya pernah kenal dan dekat dengan salah satu anggota dewan, saat itu saya selaku ketua organisasi pasti membutuhkan biaya operasional organisasi baik yang langsung saya pimpin atau pun yang ada di leading sector. Berat rasanya kalau mengandalkan iuran anggota. Untuk keluar dari persoalan itu saya biasa silaturahim dan tukar gagasan dengan anggota dewan dan Alhamdulillah bantuan itu cukup lancar mengalir. Menurut pengakuannya, beliau cukup banyak terbantu dengan usaha mengenalkan antara pelaku usaha dengan pihak yang berkepentingan dengan produk dari pelaku usaha tersebut, baik kepala dinas mau pun komunitas. Jika tidak begitu, mungkin nasibnya sama dengan beberapa kawannya, terpental setelah tergagap-gagap dimintai bantuan oleh konstituennya.
Langkah Ketiga dunia politik ini dalam pikiran saya adalah dunia maneuver, ya maneuver untuk mengatasi kebuntuan dan kesulitan. Salah satu maneuver yang paling kuat saat ini adalah kemampuan untuk menguasai dan mengkondisikan rapat. Beberapa politisi saya akui cukup handal dalam membangun team untuk bermanuver. Kemampuan ini bukan hanya bisa membungkam para politisi busuk, namun yang terpenting adalah menumbuhkan perasaan terbantu pada diri politisi lainnya melibatkan Aleg tersebut pada setiap kebijakan yang akan diambil, serta menumbuhkan perasaan yang dihantui ketakutan pada diri politisi lainnya jika tidak melibatkan Aleg tersebut dalam setiap kebijakan yang diambil, ketakutan itu timbul dari keganasan retorika yang dimiliki aleg tersebut dalam mempermainkan logika politisi lainnya.
Saat kemampuan maneuver itu ada pada diri Aleg, sangat dimungkinkan jika rapat-rapat non formal yang membahas ranperda pun akan melibatkan si Aleg tersebut. Jika sudah demikian, Aleg tersebut bisa mendapat akses APBD lebih besar. Secara hukum yuridis selama tidak tersandung pidana korupsi, itu semua halal, sementara secara de facto justru hukumnya wajib. Namun sayang, logika jumlah besar akan mengalahkan jumlah kecil cukup mengganggu pikiran saya, dan itu yang sering dijadikan oleh manusia bermental ayam sayur sebagai alasan untuk tidak berambisi menang.
Langkah Keempat adalah mengenali kembali kekuatan dan kekuasaannya selaku anggota dewan. Sekitar satu pecan yang lalu salah satu pimpinan DPR berbicara akan menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk mendorong Indonesia mengakui kemerdekaan Kosovo. Rasanya bahagia dan bangga punya pimpinan macho semodel itu. Begitu pun dengan aleg lokal, perlu rasanya menghitung-hitung kembali kekuatan dan kekuasaanya.
Politik adalah dunia symbol dan sinyal. Disini bisa dimengerti kenapa kepala dinas enggan sekali berurusan dengan anggota dewan, sebab selain akan berhadapan dengan srigala lapar juga kekhawatiran akan nasibnya yang diombang-ambingkan lobi aleg kepada walikota atau bupati.  
Di sini berarti segala senyuman, lirikan, bahkan gertakan pun perlu dikapitalisasikan menjadi kekuatan Aleg.  Caranya dengan mengetahui sumber kesenangan dan sumber ketakutan subjek, serta memasukkan sugesti bahwa aleg tersebut selain menjadi partner yang bisa memberi manfaat, jika bisa menjadi sumber malapetaka jika berurusan dengan aleg tersebut. Ya sesekali pake jargon “ayo bung ribut kembali, tapi itu sesekali saja, kalau urusan kemaslahatan diusik. Jika kondisi sedang adhem dan kondusif, barulah pake jargon ayo rebut kembali.  
Langkah Kelima membangun team politik yang progresif menjadi penutup dari ketiga langkah di atas. Team ini bukan hanya mengumpulkan segala kekuatan yang ada pada aleg, juga menjadi bagian yang mengatasi kelemahan aleg tersebut.  Mereka yang terlibat dalam team tidak harus dari kalangan aleg sendiri, namun dari manusia yang potensinya berada pada celah lemah yang dimiliki aleg tersebut, atau potensinya terletak pada kerja-kerja yang akan didelegasikan kepadanya, team ini mungkin dinamakan staf ahli.
Staf ahli ini yang menganalisa, mempersiapkan bahan omongan di forum untuk aleg tersebut, sekaligus memperkuat dengan data-data akurat. Catatan yang akan dilontarkan aleg di forum biasanya ada dimeja aleg beberapa jam sebelum rapat dimulai, jadi aleg menerima matangnya saja.  Mereka tentu digaji secara layak dengan ukuran keahlian, bukan UMR, karena ilmu dan kecekatan mereka saat bekerja belum bisa disamakan dengan pegawai pabrik. Tapi sepertinya Gaji ini yang sering membuat aleg agak enggan menunjuk staf ahli. Asumsi bahwa mereka sudah punya banyak pengeluaran cukup menjadi kata pamungkas untuk tetap bekerja secara tradisional. Mungkin logikanya lebih baik alon-alon tapi murah, dari pada banter tapi mahal.
Jujur saya memuji kesabaran aleg yang tidak punya staf ahli, sebab mereka harus ketemu konstituen sendirian, memilah-milah proposal sendirian, sekaligus mengantarkannya ke kepala dinas juga sendirian, membaca draft perundang-undangan daerah sekaligus mempersiapkan bahan gagasannya di forum juga sendirian, Ini manusia superman yang hampir mustahil saya temui mengingat jatah waktu semua manusia hanya 24 jam dan keterbatasan kekuatan fisik dan psikis yang semakin meranggas di makan usia.  
Sebelum menutup tulisan ini, saya teringat ada cerita seekor singa ganas yang menggunakan cakar dan segala keahliannya untuk menangkap tikus-tikus.  Sebanyak apa pun singa makan tikus, karena yang dimakan itu tikus, maka singa itu akan kembali lapar jika waktu mulai beranjak sore. Singa itu barangkali tidak akan mengalami kelaparan lagi jika keahliannya itu digunakan untuk menerkam kijang. Cerita super pendek ini mungkin banyak tafsirnya, dan tafsir itu saya kembalikan kepada pembaca.


EmoticonEmoticon