Jumat, 29 Juli 2011

GURU

 Guru merupakan elemen sejarah dalam miniature jiwa manusia, tidak semua orang dapat dikenang abadi seperti halnya guru; kebaikannya, perhatiannya, keramahannya atau pun keganasannya menghukum mereka yang embalela, seperti saya yang pernah ditampar dan dipajang di pinggir lapangan, perasaanku saat itu bak seonggok daging yang dihina dina kawan saya, menertawakan penuh kemenangan,
Si Romi akhirnya kena sialnya setelah lama berpetualang...  mungkin itu kira-kira isi hati kawan-kawan saya. Namun dari sana saya belajar bahwa untuk beraksi butuh perencanaan dengan runtutan scenario yang lebih detail. Setelah itu dengan izin Allah petualangan saya hampir-hampir jarang terendus sebagai murtakib kabiir.
Dalam bahasa Arab, Guru memiliki banyak kata, seperti muallim; orang yang memberi ilmu, mudarris orang yang memberi pembelajaran, bahkan murabbi, orang yang merawat dan menumbuh kembangkan jiwa raga manusia. Kata Guru sendiri diambil dari bahasa sansekerta yang berarti berat. Dapat dimaknai bahwa mengajar adalah tugas berat yang bisa dipikul oleh manusia berjiwa tangguh yang memiliki kemampuan mengasuh.
Dapat dimengerti jika mereka hadir dalam setiap relung jiwa manusia, karena mereka yang memindahkan peradaban dari generasinya kepada generasi kita yang lebih muda, secara tidak langsung membangun arketif (meminjam istilah Jung) dalam jiwa generasi baru yang telah berlangsung sejak kebudayaannya dimulai. Oleh sebab itu kenapa setiap mimpi pada manusia yang bersuku sama selalu ada kemiripan. Ya.. mereka yang mengajari kita tulis menulis, yang mengajari berhitung, manajemen konflik dengan kawan, belajar untuk menata buku, mengajari sikap yang benar saat menghadapi ujian, mengajari sikap hormat kepada siapa pun orang yang lebih tua, dan secara tidak langsung mengajari cara hidup, serta cara berfikir.
Bisa dikata bahwa guru dalam imaji manusia adalah gambaran dunia ideal, di mana setiap ada kesulitan guru hadir membimbing, setiap ada persoalan guru hadir sebagai pemecah. Ia hadir dalam sosok yang teduh, namun bisa berwujud mengerikan dan berwibawa melebihi orangtua yang melahirkan, tak heran anak-anak lebih takut dilaporkan kepada guru daripada mata melotot orangtuanya.
Malam ini, udara semakin dingin, meminta manusia untuk segera berhenti bekerja dan memaksa berangkat ke peraduan, mungkin saja dinginnya malam ini persis dirasakan oleh guru-guru saya yang pernah mengajar saya di sekolah dasar dulu, namun dingin mereka bukanlah dinginnya saya, dinginnya mereka bisa jadi diartikan sebagai dinginnya dunia yang tidak pernah ramah menyapanya.Walau saya mengerti betul bahwa ada sisi lain yang membuatnya memilih guru sebagai jalan hidupnya, yaitu makna, dari makna itulah yang membuat pengabdian mereka terkenang abadi dalam ingatan manusia.
Seiring dengan perjalanan manusia, keinginan pun semakin banyak, guru pun semakin realistic dalam memandang dunianya, anak-anak semakin besar, dan tuntutan pun semakin mendesak, pemerintah seakan mengerti akan abdi pegawainya, dia menaikkan gaji guru, kehidupan layak terpapar sudah di depannya, namun persoalan guru tidak berhenti di sana, rupanya ada yang kurang tersiapkan dalam menghadapi kemilau itu semua, yaitu mempersiapkan makna (meminjam istilah Frankl) dalam jiwa mereka di saat mereka menghadapi anak-anak yang lugu dan di saat mengambil uang gaji. Hasilnya jelas, kehampaan eksistensial dalam hidup guru kini semakin menyeruak.
Tidak seperti halnya presiden yang dikelilingi oleh team yang setia mensuplai informasi yang diperlukan untuk mempermudah segala urusan kepresidenan, guru pemain sendirian, ia kerjakan sendiri RPP, kerjakan sendiri absensi, menilai sendiri nilai ujian sekaligus mengoreksi dan membuatkan soal, namun pada saat bersamaan, anaknya yang mulai beranjak besar merengek minta dibelikan handphone. Dengan gaji yang sudah dipotong sana-sini, persoalannya kemudian berpindah ke pikiran, pikiran itu yang membuat para guru memiliki penyakit khas, diabetes, darah tinggi, darah rendah; hasil kehampaan yang tidak diantisipasi.
Ada benarnya juga pandangan Psikolog Yahudi yang bernama Victor Frankl itu, menurutnya, pleasure principle (keinginan mencari kesenangan), atau striving for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan) bukanlah hal mendasar dari inti persoalan manusia. Keduanya, hanyalah bentuk terselubung dari persoalan dasarnya, yakni kehampaan eksistensial. “Kadang-kadang, terganggunya upaya orang terkait untuk mencari makna hidup berubah menjadi keinginan besar untuk berkuasa, dibarengi dengan salahsatu bentuk paling primitif…,yaitu keinginan memperoleh kekayaan.”.
Namun dengan keterbatasan mata saya memandang, saya dapat mengerti kehampaan itu terjadi, sebab setelah sekian tahun lamanya guru terus dipaksa untuk menelan adagium guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa itu diartikan sebagai pekerja keras dengan gaji minimalis, setelah sekian tahun hanya bisa meradang, fajar kebebasan itu menyingsing, dan itu diartikan bahwa peluang untuk mendapat kesejahteraan itu semakin dekat. Dan peluang itu sudah terasa hasilnya. Perubahan yang terlalu cepat menuju hidup yang berkecukupan ternyata selalu menyisakan satu persoalan, yaitu selalu lalai untuk mengkondisikan jiwanya bahwa inti dari itu semua adalah untuk memudahkan hidup, bukan tujuan.  Seperti halnya reformasi bukanlah tujuan tapi hanya sarana. Pertanyaannya adalah, setelah mendapat gaji cukup, mau ngapain lagi? Tidak ada jawaban.
Adalah kawan saya yang memilih profesi menjadi guru, niatan suci ini hadir berkelebat kuat dalam alam pikirannya selepas kuliah; dunia menurutnya dapat ditandaskan dengan semangat membara. tekadnya untuk tidak menjadi PNS selalu menggedor jiwanya yang aktivis itu. Keputusannya kemudian jatuh kepada sekolah Islam yang berbasis intergral, sayang rupanya hidup ini dalam beberapa segi dapat dimaknai sebagai transaksi kertas berangka untuk memudahkan hidup. Hal itu tidak didapatkan dalam sekolah yang baru mengerti bahwa jihad dan ikhlas posisinya berlawanan dengan kemudahan hidup. Kini idealismenya tergadai, tunduk dibawah tuntutan istrinya yang menginginkan kendaraan untuk mobilitas, tunduk oleh desakan mertua yang kasihan melihat morat-maritnya kehidupan.
Rupanya hingga kini, dua idealism antara makna dan kemudahan hidup belumlah menjadi kawan baik dalam dunia guru. Dahulu mereka memilih hidup sederhana dengan penuh makna kerena memang itulah nyatanya, bagi yang tidak ingin menjadi guru dengan segala kesederhanaannya, pergilah menjauh. Namun kini kemudahan itu tampak nyata, dengan idealismenya yang tergadaikan, anak hanya dipandang dari skor 1-10, semakin kecil angkanya semakin kecil pula nilai anak di depan matanya.
Di Babakan Kalangsari, Monumen MADRASAH IBTIDAIYYAH MUHAMMADIYAH MANBAUL ULUM itu masih berdiri kokoh, telah ada perubahan di beberapa sudut bangunan, meski tidak banyak. namun aura kesederhanaannya masih kuat memancar. Ukurannya tidaklah terlalu besar namun berjuta-juta memori hadir dari sana, seperti dinamit meledak sesaat setelah mata saya terpapar bangunan yang tidak banyak berubah itu, dari sana pula jejak-jejak ribuan manusia mengharu biru peradaban, ada yang menjadi pengusaha meubel, pedagang kain, PNS, Ustadz, Guru, Ibu rumah tangga, tukang becak, tukang batu, tukang minyak, aktivis LSM, bidan, dokter, dan sedikit diantara muridnya suka mabok dan madat, keaneka ragaman ini mungkin saja tidak sedikit pun terbayang oleh guru-guru pada saat itu kami yang masih mungil dan lucu itu akan bertebaran di muka bumi dengan beragam jejak yang tidak ada di dunia pada saat mereka masih muda.
Hmm bangunan mungil ini menjadi tempat segala suasana saat saya mulai belajar mengerti arti kehidupan, saat saya bermain sepak bola, piket kelas, dimusuhi dan memusuhi, gelut, bolos, mencuri jambu, dikejar petani bergolok karena ketahuan mencuri mentimun, mencari kawan dekat, dihukum guru dengan alasan yang bervariatif, dan belajar arti cantik dan ganteng itu dari rangking, semakin besar angka rangkingnya, semakin jelek wajahnya terlihat di mata kami.
Adalah Pak Asep yang mengajari saya menulis dan berhitung di kelas satu, -Bapak saya yang menjadi kepala sekolah, awalnya saya hanya menjadi anak titipan saja, -. Saat itu saya merasa lebih bangga mendapat nilai tujuh dibanding delapan, saat itu pula saya dipaksa mengerti sambil menggerutu bahwa nilai delapan ternyata lebih tinggi dari tujuh, namun pak asep seakan tidak peduli, ia raih kembali tangan saya, dibimbing bagaimana cara menulis dengan pensil.
Pun Juga dengan Pak Isak, yang pernah menjadi guru kelas, seorang punisher yang hebat, di tangannya, murid lelaki bandel, mbalela, tukang ngompas harus terkaing-kaing mendapat pukulan mistar kayu yang panjangnya satu meter itu, selain mengajar dan menghajar murid lelaki bandel, beliau secara konsisten mempush up kan seluruh murid laki-lakinya jika bel pulang berbunyi, bak begundal yang tertangkap, selain di push up, punggung kami pun dihajar mistar kayu, tidak peduli anak ustadz, anak RT, anak pedagang semuanya yang berjenis kelamin lelaki harus merelakan tangannya push up sambil punggungnya dihajar mistar kayu tanpa ada satu pun yang membela kami, tidak tukang es tidak pula tukang gorengan, mereka semua ikut menertawakan kami, ya menertawakan kami yang tengah menjadi objek tertindas. sementara yang murid perempuan dengan bebas nyelonong pulang penuh kemenangan, sesekali mata mereka menatap kami penuh kepuasan. beruntung, para pejuang HAM belum berpikir untuk mengarahkan proyeknya ke dunia pendidikan.
Hari ini semakin malam, ketika pikiran terus memburu membuka file-file lama yang berada dalam tumpukan memori lapuk ini, memakan waktu untuk mengingat kembali memori itu, namun seperti ekstase yang semakin lama semakin bersemangat untuk kembali menghadirkan kenangan indah itu dalam pikiran yang ada dalam kepala ini. Ups saya baru sadar bahwa di setiap sekolah selalu ada yang bukan sekolah, mereka adalah tukang es, tukang sirop, tukang cendol, tukang rambutan, tukang game watch, entah kemana mereka saat ini dan bagaimana kehidupan mereka, Allah sering membuat keindahan hidup ini terbuat dari untaian hidup manusia yang saling bertemu untuk kemudian terpisah kembali, diingat namun tidak bisa dilacak.
Guru saya bukanlah orang besar, dalam sejarah pun mereka hanya menjadi fenomena sepintas, sepintas hanya pada manusia yang pernah menjadi siswanya, setelah itu hilang begitu saja ditelan hukum sejarah. Namun justru ketidakbesaran itu untuk membangun kebesarannya dalam jiwaku ini yang selalu meronabirukan hati, jika terdengar guru yang hidup bersusah payah di dunia saat ini; andai saja saya bisa membantu.
Jika saja idealism dan makna itu dapat kawin, amat dimungkinkan guru saya yang kini hidup di usia senja ini tidak lagi hidup dalam ketergantungan uang pensiunan yang tak seberapa itu, namun pengandaian itu hanyalah sebuah ilusi semata, sebab sejarah berputar hanya untuk peristiwa, bukan untuk generasi.  
Tahun demi tahun, setiap manusia selalu memburu keinginannya yang tidak berkesudahan, namun guru-guru saya telah beranjak tua, mereka mulai menanyakan nama saya jika saya sapa mereka di perempatan jalan, sesaat setelah  dia turun dari angkot yang berhenti di pojok kiri pasar Pancasila, dengan tas kulitnya yang lusuh itu. Sakit rasanya tidak diingat, namun saya dapat mengerti bahwa pikirannya sudah banyak tersita oleh pesoalan hidup yang berjejal-jejal itu.
Malam ini, pukul 23:02 guru-guru saya sedang istirahat, sambil menanti esok dengan cerita yang sama, mengajar anak-anak menghantarkan ke dunia lebih baik, namun tidak untuk dunia mereka.. sementara tetes air mata ini tidak lagi terbentung, sedih tiada tara, saya belum bisa berada di sisinya saat mereka dalam kepayahan karena usianya yang semakin senja,…


EmoticonEmoticon