Jumat, 21 Mei 2010

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, begitu isi sms yang saya terima dari istri saya, mengabarkan kalau peristiwa jatuhnya bis yang berisi guru TK PGRI kecamatan Kanigoro Kab Blitar beserta siswa-siswanya ke dalam jurang sedalam 100 meter itu telah merenggut 6 nyawa, dan satu-satunya guru TK yang meninggal saat itu adalah tetangga saya, namanya Bu Rurin, rumahnya tepat di depan rumah saya. Sementara itu ketiga anak kandungnya selamat, hanya satu yang terluka di kepalanya.

Begitu SMS itu sampai ke HP saya, saya segera menutup pengajian rutinan itu dan segera pulang, dan ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, saya menangkap aura kebingungan yang mendalam dari keluarganya yang sedang berkumpul di halaman rumah sakit itu, mereka hanya hilir mudik tak tentu arah, sementara anak-anaknya hanya terdiam, mencoba sedang mencoba untuk memahami kejadian yang baru saja mereka alami, terlempar ke luar dari dalam bis yang tengah jatuh berguling-guling ke dalam jurang itu, dan ibunya tidak berdaya apa-apa untuk melawan takdirnya, dia terbawa masuk berguling besama bis yang nahas itu; meregang nyawa.


Mas, aku buru-buru ni, jadi saya gak bawa apa-apa….

Ungkap saudaranya yang meninggal itu kepada saya saat berada di depan apotek rumah sakit untuk menebus obat, saya menangkap makna kata itu sebagai permintaan bantuan yang tak tertahankan karena dia berangkat ke rumah sakit tidak membawa uang, tidak juga membawa KTP, atau apa pun selain pakain yang menempel di tubuh dan kendaraan bermotor yang setia menemaninya tentunya. dia berangkat penuh ketergesaan -akibat dari berita kecelakaan yang menghantarkan kematian saudarinya itu- yang datang melesak hampir meledakkan rongga dadanya, rupanya di mana pun adanya, berita kematian selalu memberi satu perilaku yang lazim, yaitu keinginan yang kuat sekali untuk mengurusi jenazah sesegera mungkin, meski tanpa membawa apa pun.

Saya mencoba untuk bernegosiasi dengan petugas apotek rumah sakit, berbekal sedikit pemahaman tentang negosiasi yang baik dan memaksa, saya meminta penangguhan dalam membayar tagihan obat, tentu dengan jaminan KTP saya, dalam kondisi berat kayak gini, negosiasi menjadi lebih tepat bila dimaknai memaksa petugas apotik ini untuk mengikuti saran saya, yaitu menerima KTP saya dan meminta obatnya. Negosiasi ini berhasil, setelah petugas tersebut meminta izin kepada kepala apoteknya. Kalau pun tidak diizinkan, secara politis saya tetap berada di pihak yang berdaulat, sebab para manusia saat itu mungkin akan memaklumi bila saya menekan petugas apotek itu dengan cara manual, dan para manusia saat itu pun tetap akan menyalahkan petugas apotek bila tindakan manual itu menimbulkan kerugian meterial, Namun opsi itu alhamdulillah gagal, sebab petugasnya lumayan mau mengikuti saran saya.

Yang sabar pak, ini sudah suratan yang harus dijalani,..

Hibur saya ke suaminya tetangga saya yang meninggal itu

Iya mas, dungakne sek iso kuat.

Jawaban itu disertai getaran, pertanda batinnya sedang mengalami kelelahan yang tak terperi; air matanya sudah dari tadi mengering, namun matanya tetap memerah dan menerawang ke arah yang jauh, sesekali melihat anaknya yang tengah terbujur dengan jarum infuse di tangannya, kepalanya diikat, beberapa bagian tampak darah yang mengering di kepalanya. Anaknya yang berwatak penakut dan selalu mudah terkejut ini memaksa ayahnya untuk selalu berada di sampingnya, sampai dia diperbolehkan untuk pulang. Suasana kamar yang ditempati anaknya itu terasa pengap dan panas, tampak tidak ada inisiatif sama sekali dari para perawat di sana untuk memasang kipas angin. dinginnya udara malam pun terasa malas untuk masuk ke ruangan proletar ini, mungkin saja dia tahu kalau ruangan itu tidak memang layak untuk dihembusi, hehe, apa pun yang terasa di ruangan itu hanya cukup diwakili kata TIDAK MANUSIAWI. Hal ini kemudian ditambah dengan aroma bau keringat para penduduk strata ekonomi yang memilih ruangan itu. Semuanya bersatu padu dengan beberapa lalat kurang ajar yang terbang riang di malam itu, sesekali kecoak saya lihat berjalan dengan tenang, pertanda kalau dia merasa aman dari ancaman makhluk mana pun. Slogan yang dibangun para pekerja anti sakit yang mengatakan kalau kecoa dan lalat sumber penyakit itu benar-benar hancur berantakan di hadapan saya, hati saya semakin nyeri setelah saya sadar kalau ketenangan dan keriangan kedua makhluk jahanam itu sebenarnya isyarat kalau kehadiran mereka telah direstui oleh kepala rumah nyeri. Tentu saja hati saya semakin terluka setelah saya kemudian menafsirkan kalau petugas anti sakit itu berarti ikut serta memelihara kedua makhluk yang tidak akan gemuk itu.


Meski kepala saya berkecamuk untuk mendialogkan suasana di dalam kamar rumah sakit itu, Saya dan suami almarhumah duduk di emperan kamar rumah sakit, lumayan, kalau di luar ruangan kamar, ternyata udara malam mau juga menyapu wajah dan tubuh saya, hal ini Alhamdulillah membuat badan saya sedikit segar dan mungkin saja sedikit menyejukkan suasana hati suami almarhumah yang sedang penuh kekalutan itu. Beberapa orang yang bernasib sama dengan anaknya suami almarhumah itu pun melakukan hal yang sama dengan kita, mereka duduk di emperan kamar rumah sakit, ada yang tiduran, ada juga yang merokok, beberapa wanita paruh baya diantara mereka ada yang memilih bertahan di dalam kamar pengapnya sambil mengipas-ngipasi tubuh anaknya yang terkena bala dan tentunya juga sesekali mengipas-ngipas tubuhnya yang renta itu dari keringat akibat ruangan yang diseting pengap oleh Bapak dan ibu petugas anti nyeri itu.

Sementara itu, di rumah mertuanya kini tengah sibuk bukan kepalang, Pak RT, Pak Kyai, para pemuda dan saudara-saudaranya semua wara wiri sibuk menata tempat untuk melakukan prosesi terhadap terhadap jasad saudaranya itu, Namun sang Suami almarhumah tetap menunggu dan mendampingi anaknya yang suka terkejut itu, dia hanya bisa berharap, semoga istrinya tidak segera dikuburkan, dari kelopak mata yang air matanya sudah mengering itu saya menangkap kebingungan yang menghebat, dilema antara dua keinginan, yaitu keinginan untuk menunggu anaknya di rumah sakit versus keinginan untuk ikut mengurus dan menatap jasad isterinya yang sudah tiada bernyawa lagi untuk yang terakhir kalinya, apalagi sejak pagi dia sama sekali belum ketemu dengan istrinya hingga saat itu, jam 24.00.

Saya tidak bisa membayangkan suasana batin anak-anaknya yang sedang di rumah sakit itu, bila ternyata ibunya yang dia tunggu-tunggu itu tidak juga datang, dan bagaimana rasanya bila sesaat dia pulang ke rumahnya, ternyata ibunya tidak mereka lihat lagi menunggunya dengan segala cerita kejadian yang tadi siang menimpanya bersama-sama, mungkin sejenak mereka akan mencari-cari kemana ibunya gerangan, di kamarnya pun sudah tiada, sementara di ruangan tengah pun hanya ada teronggok televisi kecil yang sering mereka tonton bareng-bareng tiap malam melepas kepenatan kerja dan sekolah, VCD yang sering disetel tiap minggu pagi dan sendal jepit ibunya yang biasa dipakai tiap hari hanya terdiam bisu, tiada memberi jawaban yang sedang dicari anak-anaknya almarhumah itu. Apa pun upaya-upaya kecil dari anak-anaknya mencari-cari ibunya itu hanya akan berujung kepada jawaban dari Bapaknya sedang mengatur nafas untuk mengurangi beban ditenggorokannya yang mencekat itu.
“Ibumu wis dipanggil sing Maha Kuoso”

Jawaban itu pastinya menjadi penuntas dari segala upaya pencarian anak-anaknya itu, sekaligus membuka pintu kesedihan yang tiada berpangkal, Ibunya telah meninggalkan mereka selamanya, tanpa meninggalkan pesan apa pun apalagi mengucapkan kata-kata perpisahan, ya... kecelakaan itu telah membuat semuanya berakhir dengan cepat, meski hanya untuk mengatakan sepatah kata apakah untuk suaminya tersayang atau pun untuk membekali anak-anaknya spirit dalam mengarungi hidupnya yang penuh perjuangan ini.

Pasir menggunduk di depan rumahnya yang baru saja mereka beli, kini tidak lagi mengandung harapan, impiannya untuk membuat pagar di depan rumahnya yang sederhana itu lenyap sekejap. Rumah yang dia bangun pun terasa hambar, tiada lagi raungan motor yang biasa dipanasin oleh almarhumah tiap pagi, dan tiada lagi sapaan Rahma kepada anak pertama saya. Apa pun, sekali lagi apa pun barang yang terkait dengan almarhumah, perbuatan apa pun yang melekat dengan karakter almarhumah, kini hanya mengandung satu kata; “KENANGAN”.ya, kenangan yang telah dibangunnya bertahun-tahun, selama dia hidup, selama dia bertetangga, dan selama dia menikah dan beranak pinak.

Lagi-lagi, semuanya hening penuh kekosongan, sekosong hati suaminya yang kini menganggung beban ketiga anak-anaknya yang masih sekolah. Harapan itu butuh waktu untuk dibangun, semua semangat hidup perlahan sedang meredup, seperti ungkapan suaminya almarhumah tadi malam.;

Ning kene aku wis ra duwek dulur, kabeh di Cilacap....”

Pagi tadi, motor almarhumah terdengar meraung-raung, namun kini ditunggangi oleh suaminya yang berangkat ke tempat kerjanya di parkiran pertokoan di kota Blitar, hanya saja saat ini dia berangkat tidak dengan semangatnya, namun dengan kehampaannya yang tidak terperi, mungkin saja saat ini dia belajar untuk pertama kalinya menerima kenyataan kalau pagi ini dia harus bangun tidur sendirian, tanpa melihat istrinya yang setia mendampinginya bertahun-tahun, pastinya dia sekarang sedang belajar untuk pertama kalinya menerima kenyataan kalau mulai saat di setiap dia pulang dari pekerjaannya yang melelahkan tidak lagi disambut oleh istrinya.

Anak-anaknya pun kembali ke sekolah seperti biasanya, namun tidak membawa keceriaan seperti yang biasa saya dengar tiap pagi, hanya saja saat itu mereka tengah membawa pengalaman baru yang sedang dia cerna sedikit demi sedikit, hidup tanpa ibu.... meski SPP sekolahnya yang telah dilunasi ibunya, sesaat sebelum meninggalkan anak dan suaminya untuk selamanya sedikit mengurangi bebannya di sekolah.

Benar juga kata pepatah ini “ masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah pengalaman dan masa depan adalah harapan yang (mungkin saja) akan terjadi

4 komentar


EmoticonEmoticon