Rabu, 21 April 2010

Dia yang tenggelam; Akbar

Sosok lelaki itu sejak awal membuat saya kagum, banyak hal yang saya kagumi, baik dari postur tubuh, wajah yang dipenuhi janggut, dan berkacamata, semua itu menunjukkan kepada saya bahwa dalam dirinya terdapat gabungan antara kecerdasan dan militansi, kombinasi yang ideal untuk mereka yang memilih terjun dalam dunia pergerakkan.

Saya mengenalnya sekitar 6 tahun yang lalu saat s
aya memutuskan untuk bergabung dalam ormawa, dia saat itu tampil memenuhi dahaga identitas pemuda yang saya inginkan, seorang pemuda pergerakkan yang amat terampil dalam forum, tampak luwes dalam melakukan advokasi social.

Soso
knya yang tidak banyak berbicara membuatnya semakin terlihat berdaulat, ya berdaulat di depan kawan-kawannya dan tentu saja berdaulat di hadapan saya. Kekaguman saya pada sosok pemuda yang kelak menjadi mentor saya ini semakin bertambah setelah saya terlibat dalam aksi pilkada bersih, saat itu saya melihatnya berani menantang keberingasan polisi muda, definisi benar dan salah dalam diri saya saat itu sangat sekterian, polisi muda salah karena bukan dari pihak saya. Beberapa saat setelah itu, saya mulai sering berinteraksi dengan sosok itu, dan ingin sekali saya memahami alam pikirannya, namun sayang sekali sosok saya saat itu masih tampak belia sekali, jadi waktu pertemuan itu dia gunakan untuk say hello saja. Dan memang benar saya saat itu memahami benar kondisinya yang sibuk, semenatara saya bukan siapa-siapanya dia. Dia mengenal saya karena saya berasal dari kampus UIN, itu saja, selebihnya tidak.

Kejadian pembakaran kesekret yang dilakukan oleh beberapa oknum semakin menandaskan bahwa dirinya memang berjiwa haraki, tanpa rasa takut, tentu saja hal itu sempat membuat saya berimajinasi bahwa suatu saat saya akan mengalami itu, mengalami benturan yang hamper membobol keberanian yang terbatas ini. Satu tahun setelah kejadian itu, beliau tidak lagi menjadi ketua, namun hubungan saya dengan dia masih terjalin, sebab saat itu beliau ini menjadi mentor saya yang tetap saya pahami sebagai orang yang panuti dan taati. Namun jalinan ini tidak begitu lama, sebab dia harus keluar kota. Terus terang saya beberapa kali memaksakan bertemu dengannya karena memang saya ingin ketemu dengannya, dan dalam beberapa kali perbicangan, banyak pengertian-pengertian baru yang saya dapatkan dari pengalamannya.


Setelah itu, dia menghilang, menghilang dari peredaran, dan hampir menghilang dari ingatan saya, dia muncul kembali di hadapan saya, sosok yang baru, tidak lagi kurus, namun mulai berisi, tampak makanannya mulai bergizi, sehingga gantungan lemak menghiasi tubuhnya di sana sini. Mungkin profesi yang dia geluti saat ini memungkinkan dia terjauh dari himpitan pikiran seperti yang pernah dia alami dulu.

Pertamuan saya dengan si akbar saat itu tidak lagi menyemburka
n semangat bertegangan tinggi, namun banyak berisi keluhan, namun keluhan itu baru saya sadari kemarin-kemarin ini, dan kemudian diperkuat dengan beberapa kali sms say hello saya yang dijawab pendek dan singkat, jawaban yang tentu mengganggu pikiran saya yang ingin mencoba bertanya kabar.


Dari beberapa kabar yang saya dengar, kini dia telah memiliki rumah yang layak dan bagus. Kendaraannya pun tentu saja sekelas dengan keinginan pikirannya yang maskulin itu. Sayang, kabar baik itu hanya mendarat sekilas.dalam hitungan hari saja sudah ada kabar burung yang menyebutkan bahwa kini dia tengah diawasi oleh aparat,karena disinyalir, rumah beserta perabotannya, kendaraan beserta kawan-kawannya berasal dari dana yang bukan haknya. Saya mulai mencari alibi penenang, dan hati saya bilang kalau kabar burung itu tidak perlu semuanya dipercayai, namun alibi penenang itu mentah kembali, karena saya tahu bahwa berita itu bersumber dari burung hud-hud yang belum pernah saya dengar kebohongannya. Mungkin ada benarnya kalau dalam beberapa kondisi, manusia alim bias menjadi manusia bemoral setengah. Setengah moralnya dia abdikan untuk Tuhannya, namun setengahnya lagi dia gunakan untuk melawan kehendak Tuhannya.

Kejadian ini ternyata berlaku pada beberapa lelaki yang saya kagumi, anehnya, beberapa lelaki yang saya kagumi ini kini tenggelam pada waktu yang bersamaan, pada waktu dimana angin kesejahteraan berhembus dari arah aparat yang bermata srigala yang mengerti siapa saja yang layak dibiarkan, dan siapa saja manusia yang layak diproses.
Kabar terakhir, si Akbar mengajak berkelahi dengan mantan menteenya, si Ready. mantan santri bedegong yang omongannya ceplas-ceplos itu, kala itu Akbar tersinggung oleh ocehan si ready tentang perabotan rumah,kendaraan dan koneksi si akbar yang dianggapnya tidak sesuai dengan teks yang dia baca di kitab suci. Awalnya saya tidak percaya dengan bualannya si ready, sebab saya beberapa kali saya memergoki kalau si ready ini juga pernah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan teks kitab suci juga. namun mimiknya yang terlalu serius itu, membuatnya mampu betul menerbitkan kepercayaan saya kepadanya.

Tentu saja kabar dari si Ready ini semakin membuat si akbar yang pertarung itu menjadi tenggelam di hadapan mata saya, tentu saja bersamaan dengan tumbangnya mereka yang berkarakter sejenis, Ada beberapa berita yang menyebutkan bahwa mereka itu tenggelam ada yang disebabkan perebutan peluang kursi yang dianggap ambisius saat pemilihan legislative kemarin, ya ambisius, sebuah sikap yang harus dihindari dalam mengejar kekuasaan, dan yang satu lagi telah diisolir dari keramaian internal karena memangkas dana bantuan pemerintah.

Ada juga yang tenggelam akibat merasa terlalu berjasa, yang lebih parah ada juga yang tenggelam karena dia tidak diperlakukan sebagaimana pahlawan yang telah banyak berjasa. Dan yang lebih dari itu, ada yang menumbangkan dirinya setelah dia tahu kalau kawan-kawan seperjuangannya itu tidaklah sesuci malaikat, karena kekecewaan itu dia berbalik gagang, kabar terakhir dia menjadi donator partai berlambang sapi. Semua kejadian ini tentu membuat saya merekonstruksi kembali makna sosok manusia hidup yang layak saya kagumi ini.


Terkadang saya ingin sekali kembali ke masa lalu, masa kebersamaan dimana heroisme telah menjadi sandiwara yang dapat dilihat oleh mata kasat sehari-hari, tentu saja menjadi cerita yang menarik untuk diceritakan oleh manusia pinggir yang selamanya menjadi penggembira di panggung sejarah yang mereka ceritakan kembali saat makan lalapan di rumah kontrakannya kepada siapa pun yang mendengarkan, tentu saja sesama mereka yang dikategorikan sebagai manusia penggembira juga yang saya sendiri tidak yakin apakah cerita yang mereka sebarkan itu hasil penglihatan matanya sendiri atau bukan.


Kini masa lalu itu telah menjadi lembaran sejarah dalam sanubari saya, ia ditutup bersama dengan kekaguman saya, dan pada saat yang sama, puluhan cerita yang saya terima dari para penggembira saat makan nasi lalapan di kontrakan itu tidak lagi mengagumkan apalagi menggetarkan jiwa, cerita yang saya dapatkan dari para penggembira itu telah terasa biasa, serasa saya mendengar dongeng tetangga yang iri melihat motor tetangganya selalu up to date.

Bersamaan dengan itu potongan-potongan utuh dari pengalaman itu pengertian baru hadir dalam cakrawala pikiran saya, sejenak saya terhenyak, bahwa untuk mengerti realitas, saya belajar untuk memahami dari cakrawala pikiran saya sendiri, bukan menggantungkan diri kepada interpretasi dari manusia yang saya kagumi itu. Ada pelajaran yang saya petik dari mereka yang tenggelam itu; “jangan terlalu mudah untuk mengagumi manusia yang masih hidup”.

3 komentar

  1. Subhanalllah... banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari tulisan di atas. Ya, boleh dibilang sebagai WARNING bagi para aktivis dakwah.

    BalasHapus
  2. Beberapa lelaki? berarti lebih dari satu orang yang telah berubah dari yang semula "mengagumkan" Perlu belajar dari fenomena ini.

    Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu

    BalasHapus


EmoticonEmoticon