Minggu, 09 Maret 2008

TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP VS SERVANT LEADERSHIP

Tim eksekutif dari Amerika Serikat itu sedang mela-kukan pe-ngembaraan di China bagian tengah. Me-reka menyusuri sungai, men-daki bukit, dan menuruni lembah. Ya,inilah ”gaya hidup” yang sering dilakukan oleh para eksekutif, sengaja dan senang berpetualang. Dengan berpetualang, akan timbul semangat juang, yang tentu bermanfaat bagi mereka ketika mereka kembali memimpin
perusahaan mereka. Di samping itu, China memang begitu eksotis, termasuk Kota Terlarang-nya, dan memang sangatmemikat siapa pun untuk bertandang ke sana.
Leon, sang pemandu
Badannya yang untuk ukuran orang Barat termasuk kecil, namun ia memiliki kekuatan yang cukup luar biasa. Mungkin
Namun penduduk di China tengah itu banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris. O, itu tidak masalah. Mereka telah ditemani oleh seorang pemandu yang handal, Leon. Dialah yang mem-bereskan urusan komunikasi itu. Tidak itu saja, segala hal yang mereka perlukan sudah dibawa oleh Leon. Beban yang dijunjung di pundaknya memang sangat berat. latihan Tai Chi Chuan yang rajin dilakukan oleh Leon cukup membantu menambah tenaga. Leon seorang yang ramah, baik hati, dan suka menolong. Para anggota ekspedisi itu juga sangat menyayanginya. Ia lakukan tugasnya membawa barang yang berat, melayani mereka, berkomunikasi dengan penduduk setempat, kesemuanya itu ia lakukan dengan penuh ketekunan. Ia juga tidak pernah mengeluh. Senyumnya yang tulus seakan ikut mempercerah alam yang sedang mereka kunjungi.

Leon menghilang. Mereka segera memeriksa barang-barang mereka jangan-jangan ada yang dibawa kabur oleh Leon. Karena kelelahan, anggota rombong-an itu akhirnya terlelap. Rasa lelah bercampur rasa kagum terhadap alam yang mereka jelajahi, makin mendorong rombongan itu memasuki awan-awan mimpi mereka. Namun ketika gumpalan awan mimpi itu mulai menipis dan mereka bangun kembali, terjadilah hal yang mengejutkan. Namun kesemuanya masih utuh di tempatnya. Tidak ada yang berkurang satu pun. Persoalan mulai muncul. Mereka tidak tahu lagi ke mana mereka harus meneruskan perjalanan. Peta mereka tidak punya, bahasa China pun mereka tidak ada yang paham. Jika perjalanan mereka lancar-lancar selama ini, kesemuanya berkat kerja keras Leon. Saat itulah mereka begitu kebingungan, bagaikan anak-anak singa di padang pasir yang telah ditinggalkan oleh induk
mereka. Mereka baru menyadari betapa selama ini mereka tidak memperhatikan apa saja yang sudah dikerjakan Leon

Melakukan segalanya sendiri
Sekarang mereka harus melakukan segalanya sendiri. Tidak ada lagi orang lain yang membawa barang, tidak ada lagi penerjemah handal, tidak ada lagi orang yang senyumnya ikhlas. Dengan susah payah, mereka melanjutkan perjalanan. Betapa pun juga mereka adalah para eksekutif pilihan, mereka sudah terbiasa menghadapi kesulitan. Tujuan mereka jelas, melanjutkan perjalanan dan mencari Leon.

Dengan melalui perjalanan yang sulit, melelahkan, dan mencemaskan karena tidak pastinya arah yang mereka tuju, akhirnya mereka menemukan suatu pemukiman. Ketika mereka melalui sebuah kuil, seakan bintang terang menyinari harapan mereka yang hampir padam. Ternyata Leon adalah pendeta di kuil itu. Pantas saja perila-kunya demikian terpuji, sopan, meng-hargai orang lain, dan ia selalu senyum dan tidak pernah mengeluh. Ketika mereka berbincang-bincang dengan Leon, tahulah mereka, memang Leon ingin mengabdi kepada sesama.

Singkat cerita, rombongan itu kemudian kembali ke Amerika Serikat. Jika bagi anggota lain peristiwa hilangnya Leon hanya dianggap kejadian biasa, na-mun tidak bagi Robert K. Greenleaf. Greenleaf ini adalah mantan dirut AT&T, perusahaan telekomunikasi besar di Amerika Serikat. Ia juga menjadi dirut dari beberapa perusahaan Fortune 500.

Hasil refleksi Greenleaf
Bagi Greenleaf, peristiwa hilangnya Leon sungguh amat berkesan. Ketika Leon masih ada, peranannya tidak dianggap. Karena ia hanya pemandu, ia tidak begitu diperhatikan oleh anggota rombongan. Hal itu mudah dimengerti karena seorang pemandu hanyalah ”karyawan” kelompok bawah, yang tidak perlu diperhatikan. Namun begitu dia menghilang, barulah semua anggota rombongan merasa kehilangan. Mereka baru menyadari betapa selama ini Leon sudah melayani mereka dengan tulus ikhlas. Greenleaf menyadari benar, Leon-lah sesungguhnya sang pemimpin sejati. Ia hadir untuk melayani. Semestinyalah pemimpin itu harus melayani sebagaimana Leon yang ternyata seorang pendeta. Gagasan berupa pemimpin sebagai orang yang melayani, ia tuangkan dalam buku Servant Leadership (1977).

Ia kemudian mendirikan the Greenleaf Center for Servant Leadership. Saat itulah servant leadership menjadi teori kepemimpinan yang cukup diperhitungkan oleh para ahli. Prinsip dasar kepemimpinan ini adalah pemim-pin melayani pihak lain. Ia menyediakan sumber daya dan dukungan tanpa berharap ada pengakuan atau imbalan. Melalui perilaku melayani yang lestari dan berulang-ulang, orang itu akan jadi andalan kelompok, dan secara bertahap ia akan menjadi pemimpin.

Greenleaf menjelaskan, orang-orang itu pada mulanya tidak termotivasi untuk menjadi pemimpin. Namun ketika ada dorongan dari orang lain dan adanya kebutuhan untuk suksesnya sebuah kelompok, akhirnya orang itu menjadi pemimpin. Bedanya servant leadership dengan kepemimpinan lainnya terletak pada aspirasi memimpin orang lain. Untuk melihat seseorang servant leader atau tidak, cukup dengan melihat aspirasi orang itu. Jika aspirasinya adalah untuk memimpin orang lain, maka orang itu jelas bukan servant leader. Namun ketika aspirasinya untuk melayani, maka dialah servant leader.

Greenleaf meyakini, kepemimpinan lebih merupakan hasil dari karakteristik pribadi seseorang dibanding hanya sekedar teknik-teknik kepemimpinan. Walaupun begitu, sesuai tulisan Greenleaf, servant leader juga harus memiliki keahlian seperti bisa mendengar secara efektif, mampu melakukan persuasi, dan mampu berkomunikasi dan mengemukakan gagasan secara efektif.

Pembandingan dengan kepemimpinan transformasional
Karena kepemimpinan ini banyak pendukungnya, para ahli mulai men-coba membandingkannya dengan kepemimpinan transformasional. Banyak pendapat yang berbeda-beda. Ahli-ahli seperti Freeman, Isaksen dan Dorval (2002) menjelaskan, servant leadership juga mendorong pelbagai bentuk kreatifitas. Bentuk kreatifitas itu mulai dari yang revolusioner (berpikir baru, keluar dari kotak), hingga yang evolusioner (memperbaiki pola pikir, namun masih dalam kotak). Ketika, dikaitkan dengan intellectual stimulation (salah satu komponen Transformational Leadership), bukankah terlihat kemi-ripan bentuk pemikiran ini?

Namun begitu kita teliti lebih men-dalam, ternyata kreativitas itu lebih tertuju pada pengembangan pribadi pe-ngikut. Sedangkan perhatian pemimpin transformasional selain pada pengem-bangan pribadi, juga pada perubahan dan pengembangan organisasi. Dorongan dan dukungan yang dila-kukan oleh servant leader lebih tertuju pada pengembangan potensi orang-orang dan pertumbuhan pribadi pengikut. Di lain pihak, pemimpin transformasional lebih mendorong inovasi dan kreatifitas. Dengan mendorong inovasi dan krea-tifitas ini pemimpin transformasional akan mentolerir kesalahan yang mungkin timbul dari bawahannya. Itu dilakukan semata-mata untuk mendorong inovasi dan kreatifitas.

Servant leader, di lain pihak, akan mendorong karyawan untuk belajar dan mendukung mereka dengan menye-diakan kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan. Setelah itu ia akan memberi kesempatan untuk menerapkan pengetahuan itu di dalam perusahaan dalam rangka memperoleh tanggung jawab yang lebih tinggi. Ini dapat kita simpulkan, servant leader tidak terlalu mendorong inovasi dan kreatifitas yang langsung bermanfaat bagi organisasi.

Hasil kajian Smith dan kawan-kawannya
Peneliti Smith dan rekan-rekannya (2004) telah membuat pembandingan kedua teori ini secara panjang lebar. Mereka menjelaskan, servant leadership lebih sesuai diterapkan di organisasi yang lingkungannya tidak berubah terlalu cepat. Atau katakanlah servant leadership lebih cocok di organisasi yang lingkungannya stabil. Di lingkungan yang stabil, motivasi pemimpin untuk melayani, menjadi efektif. Organisasi yang berkembang akan mengarah kepada organisasi yang spiritual.

Budaya yang tercipta akan dicirikan oleh adanya suasana kerjasama di internal organisasi yang harmoni
di mana kepekaan spiritual tumbuh dan berkembang. Suasana spiritual ini akan tercermin pada nilai-nilai inti organisasi itu. Situasi yang dihadapi oleh pemimpin transformasional biasanya dinamis dan menantang. Oleh karenanya, hal itu menuntut keputusan yang cepat dan reaksi yang benar. Motivasi pemimpin di sini adalah untuk memimpin dan mengarahkan organisasi untuk mampu beradaptasi secara efektif dengan tuntutan di lingkungan eksternal. Ia menekankan betul pada pentingnya inspirasi dan intellectual stimulation pada setiap anggota organisasi.

Melihat kenyataan yang ter-jadi di dunia bisnis sekarang ini di mana perubahan begitu dramatis, kepemimpinan transformasional menjadi begitu cocok untuk diterapkan dalam perusahaan-perusahaan itu. Ini pula yang menjelaskan fenomena betapa dari ribuan studi kepemimpinan di akhir-akhir ini, 80 persen studi lebih banyak untuk mengkaji kepemimpinan transformasional. Ini saja yang bisa saya sampaikan tentang pembandingan kedua teori kepemimpinan ini. Saya sangat khawatir pembahasan yang bertele-tele, dan me-makai standar akademik, akan membuat anda ”pulas” ketika
membaca teks-teks ini. Oleh karenanya, saya hanya cantumkan yang penting-penting saja. Saya berharap pembahasan ini akan memperkaya wawasan anda, sama seperti jika anda seorang karateka, anda akan tetap mendapat wawasan ketika anda juga mengerti teknik bertinju…

Salam Kepemimpinan
Dwi Suryanto


EmoticonEmoticon