Senin, 07 Januari 2008

PENGALAMAN IMAJINER MASA DEPAN

Salah satu kebiasaan aktivis pasca struktur adalah saling silaturahim, sambil mengenang kembali suka duka memori masa lalunya, sekaligus untuk mengetahui juga kondisi teman-temannya, begitu juga yang saya lakukan, saya selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi teman-teman saya, kalau saya ke surabaya, ya berarti saya kunjungi salah satu sahabat saya di sana, begitu juga kalau saya ke bandung dan Banjarnegara. Usia saya saat itu adalah 28 tahun, usia yang cukup untuk tarik gas menjajal karir.

Perjalanan tahun ini kayaknya menjadi tahun yang amat tragis bagi teman-teman saya, tentu saja lucu, karena seingat saya, mereka-mereka ini adalah orang-orang yang sangar, korlap aksi dan pinter untuk berdialektika, mungkin saja kalau dia sempat baca-baca buku filsafat eksistensial, akan tambah jago lagi. Kini mereka dalam kondisi yang bermacam-macam bentuk, tapi ada satu kata yang mewakili, yaitu kasihan.

Teman saya X adalah orang yang moralis, dia begitu mudah tersulut emosinya kalau sudah berbicara sentimen agama, sikapnya yang moralis plus dengan tipologi kepribadiannya yang konvensional membuat dia tampak berwibawa. Terkejut kemarin pas ketemu di bandung, badannya yang dulu besar sekarang terlihat langsing, dari pancaran wajahnya terlihat kondisi psikologisnya yang sedang tertekan, ya Allah ada apa dengan teman yang satu ini, saya pun memberani kan diri, S ada apa dengan kamu? Dulu kamu gendut kok sekarang jadi langsing begini? Sambil menoleh kanan kiri dia langsung curhat,… dia menceritakan bahwa istrinya adalah Ahli Gizi, sekarang dia tidak bisa leluasa lagi jajan cilok, bakso dan lalapan, makanan kesukaanya dulu pas masih jadi aktivis, istrinya marah besar kalau ketahuan makan itu, katanya.. makanan itu tidak bergizi dan berbahaya bagi kesehatan jantung dan ginjal. Sekarang dia setiap pagi harus maka tahu, tempe, dan daun-daunan. Katanya itu makanan yang paling besar gizinya. Teh manis dan kopi juga dilarang, karena kafeinnya tidak baik bagi tubuh, saya selalu saja dikasih air galon. Saya sekarang stres, gak bisa lagi makan es krim, bakso bakar, lalapan, ngopi, teh manis ujarnya sambil mengusap-ngusap dada.

Lain lagi dengan temen saya si E. Dia sekarang kurus kering, memang sih dulunya juga sudah kurus, bakat kali. Tapi sekarang lebih kurus lagi. Di Bogor dia minta ketemu saya. Setelah 15 menit saya tunggu, akhirnya dia datang juga. No problem, dalam dunia konsultan, hitungan dimulai bukan dari kedatangan tapi dari akad. Dia datang tergopoh-gopoh. Dia nyapa saya, gimana kabar sampeyan hari ini ?. Saya jawab alhamdulillah baik. Dia langsung mengutarakan persoalan yang dia hadapi. Dia bilang kalau istrinya itu sarjana ekonomi, dia pinter menghitung resiko, membuat perencanaan finansial dan lain sebagainya.
”Masalahnya di mana? ” saya tanya langsung to the point.
Jadi gini, setiap bangun pagi yang diomongin duit, sebelum tidur duit, pas ngobrol juga duit. Duit-duit melulu waduh stres saya. Jawab dia

Beberapa bulan yang lalu, sayapun kembali bertemu dengan salah seorang kawan saya yang juga aktivis, namanya P. Dia orangnya pemikir, korlap juga, hobinya main PS dan keliling kota naik motor mocinnya. Kalau sudah naik motor mocinya, semuanya berbunyi kecuali klakson. Saat itu saya temui dia, wajahnya murung juga, Cuma wajahnya sekarang lebih bersih dan putih. Wah tambah keren aja anak ini. Tapi kok motor kamu mana? Saya tanya dia. Wajahnya yang semula ceria berubah menjadi mendung, air matanya perlahan-lahan menetes. Wah..wah... wah , ada apa ini, kok jadi nangis begini. Sambil menarik nafasnya dalam-dalam, dia menceritakan bahwa kini dia berada seperti burung dalam sangkar emas. Hah sangkar emas, mata saya membelalak. Ssst P menegur saya sampil menempelkan jari telujuk di depan mulutnya..Ono bojoku. Setengah berbisik dia langsung menyampaikan unek-uneknya, ” Istri saya dokter spesialis paru-paru. Dia sekarang melarang saya motoran keliling kota, dia nyuruh saya kalau gak naik mobil pribadi ya naik angkot, saiki rek... aku... aku gak isok motoran maneh. Katanya, naik motor itu gak bagus bagi paru-paru, dia bilang kalau kamu kena paru-paru, kamu akan di rawat di rumah sakit, main aja motoran di PS sana.

Waduh ini aktivis kok jadi lembek gini sama isteri, apa kena adagium :jadilah kamu seperti bayi dihadapan isterimu?” itu perlu ditinjau ulang.

Yang lebih menarik justru si M. gaya hidupnya cenderung tidak suka di atur Dia orangnya ahli lobi, urusan bohong dikit-dikit gak apa-apa katanya, coz lawan lobinya pun tahu kalau dia sedang bohong. Tst katanya, lanjutnya dia pun mengutip sabda rosul tentang kebohongan yang diperbolehkan dalam Islam. Penampilannya yang kalem dan selalu tampil rapi ini memang pinter untuk urusan bujuk membujuk, dia juga kawan saya ketika masih jadi aktivis mahasiswa. Beberapa minggu yang lalu dia secara gak sengaja ketemu saya di warung sate pak mat di jalan gajayana. Sambil makan sate kita ngobrol ngaler ngidul, baik ngomongin karir, rencana dan yang lainnya. Sampai situ kita ngobrol lancar-lancar saja. Ketika saya tanya bagaimana kabar keluarga kamu, dia terdiam sejenak, seolah-olah dia tengah menerima beban yang berat.
”Rom, saya tidak bisa sebebas dulu”
”mang kenapa?” timpal saya.
Tangannya menggaruk-garuk tidak gatal, tatapan matanya kebawah.
”Istri saya sarjana psikologi dulu dia termasuk mahasiswi terpandai di kelasnya”.
Kepandaiannya dalam psikologi membuat saya selalu terbatas, seluruh gerak-gerik saya dapat dibaca, mulai dari tulisan tangan, gesture, tatapan mata, sikap tangan semuanya terbaca, bingung saya mau ngapain, mosok saya jadi patung. Kemarin saya tidur ehh gaya tidur sayapun dibaca juga. Waduh isi-isi yang tersembunyi dalam saya kebaca semua Rom. Kebebasan saya telah terrengguuuuuuuuuuuut, ujarnya sambil berdiri, berteriak dan memukul-mukul dadanya.

”Ssst, warung iki” saya mengingatkan. Semua pengunjung melihatnya kasihan.
Oh iyo sorri, mas, mas mbak-mbak sorry. Wajahnya merah, tanpa bayar dia langsung cabut, malu. Saya hanya bisa bengong.. ada apa dengan si M, ada ada saja.

Satu bulan kemudian, saya dapat sms dari teman saya juga, bahwa sekarang dia memiliki jaringan bisnis yang menggurita, karena dia teman lama saya, saya langsung telepon dia langsung saya instruksikan dia untuk telepon balik saya (lumayan, irit pulsa). Tak lama kemudian dia telpon, Tak lama kemudian dia telpon, “ya opo rek, wis sukses tha?” saya membuka percakapan.
“Alhamdulillah akhi, ana rizki ana lancar ni”. Bales R.
“syukurlah kalau gitu, jo lali rek nang konco-konco” bisnis apo ae sih? Tanya saya.
“Menggurita rek” timpal dia. Ada bisnis pulsa berjalan, jualan permen karet dengan 1000 sales, jualan permen, jualan es teh langsung di ladang tebu, konsultan remaja putus asa, penyalur tenaga penyapu jalanan, agen swasta intel kumpul kebo. Dihitung hitung, kalau laba bersih setiap sektor itu ada 500 ribu perhari, hitung aja kali 30.
“glek, ternyata suami dia sinergis juga, padahal setiap syuro dulu mesti yang tengkar ya orang dua itu”.
Saya bersyukur banger dia bahagia dengan suaminya.

Malam ini saya merenungi nasib teman-teman saya, apa jadinya dengan teman saya yang punya istri dari jurusan peternakan, mungkin dilarang makan jeroan, yang istrinya sarjana pertanian mungkin dilarang makan apel batu yang katanya berpestisida, atau yang dari jurusan akidah dan filsafat, tiap hari lihat istrinya mungkin sedang merenungi nasib agamnya yang selalu tidak masuk akal. Kasihan teman-teman saya, nasib. Siapa yang salah? Terus bagaimana nasib teman saya yang wanita, apa juga mengalami hal yang serupa?
Tangan saya terkepal, ada yang harus disalahkan, yang salah harus dicari dan yang benar harus dibela. Rambut saya satu persatu berdiri menahan beban emosi.
Saya jadi teringat bahwa manusia itu tergantung dengan ma’rifah yang telah ia dapatkan.
Dosenkah yang salah, kalau begitu dosennya dosen juga salah, dosennya dosesnya dosen juga ikut salah karena mewariskan ilmu yang salah.
Apakah paradigma keilmuan yang selama ini kita anut yang salah. Naaah ini mungkin, metodelogi yang salah dalam dunia pendidikan yang mengkarbit manusia untuk cerdas, memenuhi tuntutan pasar, tapi lupa bahwa pendidikan itu juga seharusnya mencetak manusia seutuhnya, pinter arif dan pengertian, bukan robot berkecerdasan artifisial tanpa afeksi.

Bersambung...


EmoticonEmoticon